Senin, 25 Oktober 2010

Achjat Djohar, Satu dari Rekan Gazelle 1991 Telah Kembali!!


Semalam kolom inbox fb-ku ada yang masuk. Seolah hampir tak percaya, tercatat Achjat Djohar. Apakah aku sedang mimpi? Maklum waktu saat itu jam 23.00 malam. Kejadian ini serta merta membawa ingatanku ke setting tahun 1991-1994, sekaligus mengobati kerinduan dan mimpiku selama ini.

SAAT REGISTRASI di aula Unpad Dipatiukur (1991), saya melihat daftar calon mahasiswa sebelum saya bernama: Achjat Djohar asal Jombang menyandang NPM J1091082. Batinku bergumam, wow Unpad telah mengindonesia, ada calon mahasiswa (cama) dari Jawa Timur. Saat itu Ahmad Sohib beradu geser tempat duduk denganku kebagian NPM J1091084. Aku ber-NPM J1091083.

Tetua di angkatan kami
Achjat Djohar masuk Fapet Unpad terbilang angkatan tua, bersama Akhmad Fauzi dan Ganda Parulian, Achjat dua tahun di atasku. Achjat Djohar, lebih populer disebut Mas Jombang lahir di Jombang, 4 April 1969. Fisik yang tinggi di atas 180 cm membuatnya ia dipercaya beberapakali sebagai smashter bola voli angkatan 91. Meskipun tak muda lagi, Achjat memiliki motivasi tinggi untuk studi jauh-jauh ke bumi Parahyangan ini.

Aku pun lalu naik Damri registrasi ke Fapet Jatinangor. Saat ditanya hobiku melukis, senior menyuruhku melukis sesama cama. Cama yang beruntung kulukis itu adalah Rika Nursanti (cama asal Padang, Sumatera Barat hehe...) yang ntah di mana sketsa lukisan tsb. Saat itu kami, melalui masa bimbingan melelahkan di bawah Komando Maman Suherman (Angkatan 1989) dan Ketua Tatib amat populer, Kurnia Hartawan atau populer dipanggil Kang Iwan. Kebersamaan pun terajut lewat Mabim ini.

Achjat seorang humoris

Aku dan Achjat terbilang dekat, bukan saja NPM tapi kehidupan di kampus sehari-hari. Aku kost di Ujungberung, sementara Achjat di Ciwastra. Achjat Djohar terbilang memiliki pribadi terbuka, ia suka berteman dengan mahasiswa lainnya. Banyolan-banyolan Mas Jombang membuat kami dibuat kocak mirip Mas Wicak. Banyolan Achjat pun bikir gerr....

Coba aja nih canda Achjat yang saya masih ingat:

"Ada tiga orang gila ditanya saat di gurun apa yg akan dilakukan bila anda kegerahan. Orang gila I: Saya akan bawa kipas, kalo gerah akan kipasin aja.... Orang gila II : Saya beli Ac, tinggal kunyalain. Saat ditanya orang gila III : Sayan akan bawa pintu mobil. Lhaaa... apa hubungannya: Kalo gerah, tinggal dibuka pintunya.....Hahahaha"

Banyolan lain seputar kontes payudara terbesar (maaf-) telah membuat tawa kami begitu lepas tanpa beban yang menghimpit dan menekan rekahan bibir kami. Saat kami berada dalam idealisme yang tinggi. Hal itu membuat kuliah menjadi segar.


Kenangan Bersama Achjat

Suatu kali, kami mengadakan sepakbola antar NPM di Angkatan Gazele 1991. Saya turut menjadi penggagasnya bersama Yanto, Hapid, Trianto, dsb. Karena personil ada 120 orang, maka dibagi 4 tim, yakni NPM 1-30, 31-60, 61-90 dan 91-120. Saya dan Achjat ikut tim C 61-90. Kemenangan terindah saat melawan tim B diperkuat pemain profesional, Iman Saputrawijaya cs, diantara dua gol dicetak Achjat adalah assist-ku lewat tendangan penjuru dan tendangan voli, saat itu menang 5-3.

Juaranya adalah tim A, dikomandoi Hapid Prawirakusumah cs.

Achjat memiliki seorang kawan idolanya yang masuk Jurusan Teknik Elektro ITB. Ia kost di Bumi Ganesha (BG) Cisitu Dago. Kawannya begitu menginspirasi dia. Seorang cerdas, ditengah keterbatasan ekonomi orang tuanya, ia mampu belajar keras. Saya bersama Achjat pernah bertandang ke BG tersebut dua kali dan main tenis dan belajar komputer di sana, membuat pertemanan ini semakin akrab. Saat itu program terbaru komputer adalah WS 6.


Pertemuan terakhir

Kuliah Achjat mulai terganggu. Ia mulai jarang datang ke kampus. Mungkin ada masalah pada dirinya tapi saya tidak tahu. Pertemuan terakhir, saat itu aku hendak KKN di Wanayasa. Ini terjadi tahun 1994. Aku minta Achjat datang ke toko fotokopi kakakku di Ujungerung untuk menitipkan berkas beasiswaku. Saat itu ada satu lowongan buat mahasiswa dengan ayah berprofesi petani. Aku dari Subang, keluarga petani.

Beruntung, saat itu mobil Pak Djadjuli, PD III Fapet saat itu merapat di pinggir TRI PHOTO Ujungberung. Aku langsung mengejar pak dosen ini, sekaligus mengutarakan maksudku meminta tanda tangan Pak Djazuli. Kebetulan Pak Djazuli pembina KKN Kabupaten Purwakarta. Setelah ngobrol, termasuk mengundang tim voli Fapet (Wahyu cs) untuk bertandang ke Ds Simpang, tempat KKNku. Dan pertandingan itu terlaksana, tepat saat saya sedang memberikan Penyuluhan Vaksinasi ND di Balai Desa Simpang hingga terpaksa acara dibagi dua.

Setelah tanda tangan didapat, sesuai rencanaku Achjatlah yang akan mengantarkan form itu ke SBA. Beasiswa ini cair bulan Januari 1995, padahal saya tengah mendapat beasiswa dari Yayasan Wira Dharma Bakti, yayasan Alumni Yon II/Unpad. Sesuai peraturan, beasiswa Yon/II dicabut diberikan Pak Aos/sastra Sunda yang baru pulang dari Suskapin/1994 di Malang. Saya meneruskan beasiswa baru, saat itu beasiswa Yon II baru 2 bulan, jadi 14 bulan deh.

Sejak itupula saya tidak menjumpai kawanku. Achjat Djohar, kawanku selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Mimpi bertandang ke Diwek, kota kecil di Kabupaten Jombang, saya temui staf Pabrik Gula di sana. Saya ketemu.

Tapi itu sebatas mimpi. Sesuai obsesinya, Achjat amat terkesan oleh staf pegawai pabrik gula di daerahnya, sebuah profesi menjanjikan. Kalau saja, Achjat ikut sampei penelitian, bukan hal aneh, bila ia akan memilih ampas tebu untuk pakan ternak sapi sebagai bahan skripsinya.

Trianto ketangkep di FB dengan nama samaran hehe ,,,

Merajut Kenyataan
Kali ini pertemuan dengan Achjat mendekati kenyataan. Saya bolak-balik Surabaya hampir 5 kali setahun. Anakku dan adiku tinggal di Sidoarjo. Kereta api dan bus membawa saya melewati daerah Peterongan, Mojoagung, Jombang hingga Trowulan Mojokerto. Saya pun pernah menginjakkan kaki di tanah Jombang, saat salah naik bus. Jombang bukan daerah yang jauh lagi.

Kabarnya Achjat tinggal di Depok. Ini lebih memungkinkan lagi bertemu face to face. Apalagi Kang Ibnu Sofa Jauhari sebagai Ketua Reuni Angkatan 1991 secara aktif menggelar pertemuan, membuat pertemuan dengan Achjat Djohar menjadi sesuatu yang niscaya.

Bila Alloh SWT mengizinkan, insya alloh saya bertemu sahabat dekatku.

Mereka yang Belum Kembali

Di antara kawan sudah terdaftar di jejaring fesbuk (fb) ada beberapa kawan yang masih misteri. Mereka belom diketahui rimba dan khabarnya. Mestinya, meski tak belum bisa berkesempatan bertatap muka - Achjat Djohar misalnya -, kawan-kawan dapat teridentifikasi baik melalui jejaring dunia maya atau pun posting alamat dan hp.

Slamet Yudho Kusworo (belakang) saya temukan dan ambil gambarnya di Pantai Rancabuaya, ujung kabupaten Garut

Mereka adalah Tegal Grup seperti: Akhmad Fauzi, Adi Mulyawan, Asik Marsudi atau Ahmad Sohib (Cirebon). Kawan lainnya Slamet Yudho Kusworo (berita terakhir sebagai guru di SMPN Cidaun, Cianjur), Iman Saputrawijaya (masih di Ciparay), Abdullah Sungkar, Benny Parlindungan, Sinaga Ondo Haposan, Tedy (Purwakarta), Wasmidin (Blanakan Subang), Ela Agustina (Sembung Subang), Laela Puryati (Garut), Ambar Nuswantara, Dedeh Hamidah, Budi Mulyanto (Majalaya Grup), Mauluddin (Cimareme), Yanto Aryanto (Garut), Elman Nugraha (Bandung), Jajang Johari (Sumedang), Saptono (Jakarta), Aris Munandar (Serang), Heni Asmiati (Dago), Heni Susanti (Bandung), Trianto (Jakarta), mereka belum teridentifikasi, setidaknya dalam catatan saya.
Iman Saputrawijaya (kiri), tertangkap kamera di Pakutandang Ciparay

Semoga dengan pencarian intens, mereka bisa bergabung minimal dalam jejaring dunia maya, syukur-syukur bisa bertemu secara tatap muka. Dengan bersilaturahmi akan melapangkan pintu rezeki, menambah umur, dan membukakan pintu surga. Amin (**)

Salam blogger,

Dadan wahyudin

Sabtu, 04 September 2010

KOMPI W DALAM SEJARAH YON II/UNPAD (BAGIAN 2 - TAMAT)

DUA JAM SETELAH PELANTIKAN (1)

Pelantikan Kie W oleh Kasmenwa, Pak Indra Bangsawan (IKIP) berlangsung di hari Jum'at (6/2/94). Selepas salat Jum'at, atau dua jam setelah pelantikan berakhir, saya kembali ke Mako. SAYA termasuk siswa yang paling akhir pulang. Bukan kenapa, karena dalam acara pelantikan, ortuku tidak hadir. Siswa lain lebih dulu telah pulang dengan seribu "kenangan diksar" bersama ortu atau walinya. Dibawa oleh Pak Nurbiyantoni, saya sempat menyambangi Olive di RS Boromeos, rekan sekompi yang "terkapar" saat insiden tidak terduga. Dadan Wahyudin, mengisahkan.

Ya, Paulus Olive Tumbur Simanungkalit, punya catatan sendiri di mataku. Ia mengalami "penderitaan" lebih hebat daripadaku. Andai saja, ia berkesempatan menuangkan auto-biografinya tentang hal ini, pasti eksplorasinya akan lebih tajam dan memiliki penghayatan lebih dalam. Bukan tidak mungkin, nestapa dan kegetiran dialaminya, pembaca bakal dibuat trenyuh bahkan meneteskan air mata.

Bila aku masuk menwa, semua keluargaku tahu dan merestui. Tapi tidak bagi Pa Olive, ia masuk Menwa secara tak sengaja, tanpa bekal, tanpa seragam dan tanpa persiapan apapun. Saat aku mengeluh cuma bawa seragam sepasang untuk satu bulan (Baca tulisan saya sebelumnya: Kenangan Diksar Kie W: KIsah Satu Stel Seragam), Pa Olive justru tanpa seragam pun, ia hanya bermodal "belas kasih" kawan-kawan sekompiku. Berani ataua nekadkah? Ia mo menyongsong satu bulan ke depan tanpa persiapan sedikitpun.

Pak Olive lahir dan besar di Liwa, kabupaten Lampung Barat di Pegunungan Bukit Barisan Selatan, sebuah perbatasan Lampung - Bengkulu. Harusnya Pak Olive dapat mengikuti pembinaan sebagai anggota Kompi muda di saat itu. Tetapi saat itu Kota Liwa, tengah diguncang gempa hebat memporakporandakan daerahnya. Patahan Semangko menggeliat. Membuat konsentrasi Pak Olive harus bercabang. Ketidakhadiran Pak Olive dalam sesi pembinaan dan kegiatan Kompi muda, membuatnya absen dalam beberapa even seperti HUT Yon II XXX juga Suspelat/Dinasstaf, sehingga tak banyak dokumentasi yang saya tampilkan dalam bentuk foto.

Saya termasuk rekan getol menyambangi kos Pak Olive di Vila Ganesha (sekarang samping kanan Jatinangor Town Square). Maksudku, merayu agar ia mau aktif. Bukan apa-apa bila yang aktif banyak, kegiatan rutin dipikul jadi ringan. Dan sayang, hasil diksar, semestinya tinggal mengeyam rasa manisnya, ada rekan ketinggalan.

Bukan apa, Pa Olive dimataku adalah potensi. Ia masuk menwa dalam usia amat muda (baca: tingkat 1). Berbeda denganku, Makbul, Mustopa atau Nono Carsono sudah tingkat III, suatu usia senja, yang tak banyak diharapkan dalam proses regenerasi. Perlahan tapi pasti Pak Olive merapat ke Mako, bahkan sempat menjadi penghuni Kima Mako. Banyak kenangan disulam selama ia di Mako, hanya keterbatasan informasi, saya tidak bisa mengulas lebih banyak.

Yang pasti, Pak Olive ditempa jauh lebih keras daripadaku. Ternyata, kariernya lebih melejit dariku yang mendekati usia senja, karena dihadapkan pada tugas-tugas akhir seperti PKL, penelitian dan skripsi. Pak Olive secara gemilang pernah menginjakkan kakiknya ke Bumi Lorosae, Timor Timur. Meski diterjang ganasnya malaria, Pak Olive sukses Operasi Seroja. Sebuah kebanggaan bukan saja bagi kalangan sipil menwa, tapi bagi militer seperti ABRI (bca: TNI) mendapat kehormatan bertugas di provinsi "matahari terbit" ini. Reputasi Pak Olive pun mencapai jabatan Wadanyon II, sebuah jabatan prestisius alias nomor dua di Batalyon.

Segala tempaan dialami Pak Olive lebih ekstrim. Dalam keheningan malam berbalut kepekatan saat piket di Mako, saat bersamanya, saya bergumam lirih, semoga tempaan membuat hidup Pak Olive ke depan lebih indah. (bersambung/**)



MENGISI TINTA SEJARAH DI BULAN PERTAMA (2)


Kami hanya diberi waktu istirahat sekitar 3 hari. Tugas-tugas menanti kami, sebagai anggota muda. Masih di bulan pertama, kegiatan Batalyon cukup padat. Ini berkaitan terjadinya prosesi alih tongkat kepemimpinan Danyon. Dadan Wahyudin mengisahkannya.

Saat itu sudah memasuki bulan suci Ramadhan. Anggota muda mendapat tugas pertama kalinya menjadi Panitia Buka Bersama bersama Alumni di Mako Yon II. Saat itu dipilih sebagai Ketua adalah Benny Fatahillah, mahasiswa PAAP Angkatan 1994, usia belia karena masih tingkat I. Saya, Makbul, Benny, Wirza, duo putri Dewi-Maria, Mustopa, dan Haryo Sapto adalah anggota muda yang sudah kembali. Dengan meminjam peralatan dari Aspi Rengganis, acara buka bersama pun meriah.

Kegiatan selanjutnya, terlibat dalam prosesi pemilihan Danyon II. Ada 3 calon saat itu, Pak Rexy Alfian (Kie T), Pak Alzamri Mawardi (Kie U) dan Pak Iman Soleh (kie T). Pak Iman Soleh terpilih, dan tak berapa lama, Pak Iman Soleh dilantik menjadi Danyon II 1994/1995 menggantikan Mas Har. Acara pelatikan dilakukan Kasmatrik, Pak Syarief Barmawi di samping Rektorat. Sebagai anggota muda, anggota Kie W sudah ditugaskan dalam melakukan pengawalan calon Danyon, piket Posko dan sebagainya.

Danyon II baru dibantu oleh Wadanyon, Pak Sugiyo, veteran Timtim yang baru merapat sebulan yang lalu. Berikut jabatan Kasi dipegang oleh Kasi I/Pak Ristadi WK Kasi II: Pak Alzamri Mawardi Kasi III: Pak Merjames Pakpahan Kasi IV: Bu K.Lorika/Bu Ratih Kasi V: Bu Ambawati Retnodewi Datsarsar : Pak Aos Rifatullah, Dankigab:Pak Nurbiyantoni Danpolman : Pak Marwoto dan Dankima : Pak Teguh Ipin.

Kiee W dilibatkan dalam rapat kerja. Dalam raker tsb disepakati hajat besar, yakni menyambut mega-perayaan 30 Tahun Yon II. Kegiatan itu terdiri dari: Temu Alumni dan Renungan Malam di PSBJ FASA Jatinangor, Kunjungan ke Jenderal Besar AH Nasution ke Menteng Jakarta, Melakukan Bakti Sosial di Cileles, sebuah desa di sebelah Utara Kampus Jatinangor, dan Apel Besar dan Gelar Pasukan di lapangan sepakbola diikuti demonstari Terjun Payung melibatkan Paskhas dan Aves dimana sang legenda, Pak Trisno W, pendiri Aves turut terjun dalam kesempatan ini. Kegiatan di Kampus Jatinangor ini memiliki makna strategis sebagai kampus masa depan di mana Mako Yon II kemungkinan bakal direlokasi ke sini juga membuktikan bahwa wilayah Unpad Jatinangor masih wilayah demarkasi Yon II.

Oh, ya. Anggota muda mendapat pembekalan setiap hari Minggu. Beberapa Kasi memberikan pembekalannya. Dan setiap tanggal 11, selalu diadakan apel Batalyon dilanjutkan Rapat Koordinasi di Ruang Operasi.

Satu kegiatan terlewatkan, pasca lebaran (satu bulan setelah dilantik), Pak Wirza Eka, menjadi Koordinator Silaturahim Alumni di Wisma Pupuk Kujang, Cikampek karena punya akses dengan Dirut PT Pupuk Kujang, tak lain pamannya sendiri. Sebagai Koordinator, Eka dengan Wadanyon, Pak Sugiyo rela menembus belantara Bandung-Purwakarta dengan menggunakan sepeda motor untuk bertemu Pak Bram Sintanala, Erwin Lubis dan Sundawan guna memastikan lokasi Pertemuan Alumni. Pertemuannya selanjutnya, saya turut serta, kami bertemu alumni Pak Nugraha Besus, Pak Omay, Pak Yusuf Ma'mun, dsb di Kantor Pupuk Kujang dalam mempersiapkan acara sematang mungkin. Kami sempat disindir Pak Besus, karena rapat tidak bawa kertas dan pulpen, kecuali Komandan dan Wadanyon. Tanggal disepakati beberapa kali bolay, karena ada rencana renovasi gedung, hingga diadakan seminggu gedung mo dicet, Minggu, 5 Mei 1994.

Sayangnya, Kompi kami belum utuh. Tapi di even-even besar, 90% rekan-rekan bisa menyempatkan hadir. (bersambung/**)


HADIRNYA ADIK BARU (3)

KOMPI W bulan Juli 1994, memiliki adik baru. Atau lebih dikenal Kie W Baru. Siapa saja Kie W baru, Dadan Wahyudin mengisahkannya


Bila Kie W lama berjumlah 13 orang, adik kami cuma 4 orang. Itupun, terdapat siswa sudah memasuki usia senja, Asep Saepul Hayat (FASA, seangkatanku, kawan sekuliah Pak Aos Rifatullah (Kie U) dan Pak Mustopa (Kie W lama). Sisanya, Dwi Agustian (FKU), Tony Gustiawan (FKG) dan Iyan Sopyan (PAA). Kie W baru lahir dibidani Danlat, Pak Alzamri Mawardi (Kasiops Yon II).

Ternyata kehadiran adik baru, tidak serta merta bertambah jumlah anggota secara de fakto. Karena, ada beberapa anggota yang menghilang. Sebut saja, Benny dan Andy, setelah mengikuti kegiatan pertama tidak kembali. Ada pula yang merapat, seperti Pak Dayan Ruhimat dan Pak Olive. Ini hal lumrah berkaitan dengan seleksi. Ada yang datang dan pergi, adalah hukum hakiki berlaku di dunia fana ini.

Uniknya, kisah Andy jadi lucu juga. Andy terjaring secara tidak sengaja daptar UMPTN lagi, dan kami adalah Panitianya. Batin kami bergumam, Apa yang kaucari Andy? Andy adalah mahasiswa Bahasa Inggris FASA Unpad 1994. Keberadaan Andy semakin kabur saja, akhirnya sulit dilacak, apalagi daerah asalnya, Timor Timur terlepas dari pangkuan republik di tahun 1998..... Tentang Andy kusimpan dalam album kenangan. Andy telah menunjukkan bahwa ia hebat bergerilya. Ia licin dalam ngerembes saat di Dodik, tak heran ia rela bertaruh dengan uang Rp. 500 sekedar belanja permen...Weleh-weleh..

Kedatangan Kie W baru disambut hangat sang kakak dan akhirnya terintegrasi menjadi Kie W. Kerja bareng itu melahirkan sukses luar biasa dalam hajat Perayaan HUT XXX/1994 Yon II berkolaborasi dengan staf dibawah Koordinasi Wadanyon langsung.

Banyak kegiatan yang pernah saya jalani langsung sebagai bagian anggota Kie W. Seperti ikut menjadi staf Kolat, menghadiri undangan rekan sejawat seperti Kodam, Kopasuss, atau rekan satuan Batalyon Menwa lain. Di lembaga Universitas, hadir dalam perayaan hari besar nasional, undangan Senat Mahasiswa, ikut prosesi pemakaman jenazah dosen, PAM UMPTN, dan lain-lain.

Even kegiatan lain melibatkan instansi lain yang pernah saya ikuti, yakni Napak Tilas Tingkat Nasional Rute Gerilya Tentara Pelajar di Univ Jenderal Sudirman, Purwokerto. Bersama mahasiswa lain, mewakili Yon II, mengikuti kegiatan ABRI Masuk Desa di Cibenda, Gununghalu; Sejumlah PAM Konser Musik; Memberi Pelatihan Menwa lain, dsb.

Di intern Yon II, Kompi W berkolaborasi dengan Kompi V melakukan penjelajahan dan Navigasi di seputar Gunung Putri Lembang. Diakhiri perebutan bendera Kompi V di Mako Yon II. Kegiatan penjelajahan ini dilakukan selama 3 hari menyusuri kawasan Bandung Utara.

Kegiatan demi kegiatan kami ikuti. Semua bermanfaat, dapat menambah pengetahuan dan kecakapan. Kami mendapat bekal, karena sebentar lagi akan melepas atribut "kompi muda". Kami akan menduduki jabatan di struktur Komando. Tentu perlu bekal memadai, agar disegani kawan, dan diperhitungkan oleh rekan mahasiswa lain. (bersambung**)

PERJUANGAN MEREBUT BENDERA KOMPI KAMI (4)

Untuk memperoleh kualifikasi dan kecakapan, diperlukan kursus kemahiran. Beberapa anggota Kie W terlibat dalam kursus diadakan intern maupun ekstern. Momentum perjuangan merebut bendera Kompi W sungguh heroik. Dadan Wahyudin mengisahkan


Untuk menduduki anggota staf, anggota muda harus mengikuti kursus dinasstaf dan suspelat. Kami mengikuti kursus Dinasstaf dilanjutkan Gladi Posko menggunakan lokasi di Mako dan ruang kuliah di FE Unpad. Di sini, peserta kursus mendapat pembekalan dari sejumlah pemateri dari Kodiklat sebagai gumil dengan pangkat perwira. Di akhir kegiatan, dilakukan gladi posko, di mana peserta diasumsikan sebagai suatu batalyon di mana ada bertindak sebagai Danyon hingga stafnya. Peserta diberi waktu asumsi untuk mengelola kegiatan. Di sini, kami mendapat pengalaman berharga mengelola batalyon hingga diksar. Segala rintangan dan hambatan yang ditemui, harus diselesaikan secara kompak oleh "para staf pelajar" ini.

Selanjutnya, dilanjutkan kursus Suspelat mengambil daerah persiapan awal di Cukanghaur, Soreang. Di sini, calon pelatih dilatih untuk latihan mountaineering, menggunakan bekas rel jaman Hindia-Belanda. Kecakapan memasang anchor, carabiner, tali tubuh, belay, dan sebagainya benar-benar diuji.

Seorang pelatih nanti tidak boleh ragu, bicara harus tegas dan jelas. Tentu punya wibawa. Seorang pelatih harus menjadi sosok sempurna di mata siswa. Pengetahuan kepelatihan ini digembleng pada kami.

Sehabis Asar, kami longmarch menuju Rancaupas, Ciwidey. Berkejaran dengan waktu yang mulai gelap, kami menyusuri jalan raya berkelok dan mendaki melalui Pasir Jambu, hingga Rancaupas. Elevasi pendakian mencapai 30 derajat membuat kami kelelahan. Dalam suasana temaram, tiba-tiba Sapto Haryo tersungkur. Staf Kolat dibuat panik. Bagi kami lumayan digunakan istirahat menghirup nafas lebih dalam.

Setelah siuman, perjalanan dilanjutkan. Jam 19.25 kami tiba di perkemahan Ranca upas. Di sini kami tidur istirahat tanpa kegiatan. Esok paginya dilanjutkan kegiatan Navigasi Darat. Dibagi 2 kelompok, dilepas begitu saja. Staf Kolat hanya memberi waktu jam 14.00 ditunggu di Koordinat (XX:YY). Ibarat penerjunan pasukan khusus, tanpa diketahui daerahnya, bermodalkan alat navigasi, kami harus bergabung dengan pasukan induk di suatu tempat berdasarkan koordinat ditentukan.

Rombongan pertama dipimpin Makbul, Mustopa, Sapto Haryo, Siti Maria, dan Iyan Sopian berangkat. Disusul Wirza Eka Putra, Dadan Wahyudin, Siti Maria, Tony Gustiawan dan Nono Carsono. Beruntung, saya memiliki sedikit pengetahuan tentang peta topografi. Dengan melakukan orientasi peta, membidik titik-titik ketinggian, mengukur jarak kontur dan koordinat, jam 11 siang sudah tiba di titik yang disarankan. Celakanya, bagi rombongan Danki, baru jam 17.00 kami bersua, itu pun staf Kolat sudah mencari ke mana-mana.... Dengan bangganya Eka bilang, "Makanya baca doong, jangan ditenteng terus petanya..."

Malam kedua tidur di kaki Gn Tikukur, Rancabali. Wah, aku kena getahnya. Pas jaga piket, dua bom mercon meledak, saya dan Nono Carsono masih "ketiduran' terbawa alam mimpi. Hadiah malam itu juga kami berdua terima saat itu juga. Pendadakan selesai...

Esoknya kami melakukan binter di Kampung Rancabali. Dilanjutkan HTF (How To Find) menyusuri kebun teh berakhir di tepi Situ Patenggang. Lagi-lagi saat piket, kami dan Nono Carsono kena damprat Kolat, gara-gara.....ketiduran....Hemhh benar-benar kebiasaan yang satu ini nggak bisa dihilangkan....

Suspelat ini sekaligus perebutan bendera Kie W yang berada di Nusa ditengah Situ Patenggang. Untuk meraihnya, kami harus menggunakan perahu karet menyebranginya. Staf Kolat lebih dahulu mencapai nusa. Kini giliran sang petarung dengan gagah berani mengayuh perahu LCR (Landing Craft Rubber) mencapai nusa. Bak pasukan terlatih, kami langsung berloncatan. Saya sendiri menunggu perahu takut dibawa kabur senior bisa-bisa kawan-kawan terjebak. Perjuangan heroik itu berhasil ditandai ditemukan bendera Kie W terkubur di bawah pohon pisang..

Sejak itu Kompi Kami eksis di Yon II! Bendera KOmpi W sejajar dengan Kompi-Kompi sebelumnya!! (bersambung**)

SUVENIR KIE W BAGI YON II (5)

Banyak kegiatan yang memperkaya wawasan sebagai anggota muda di tahun pertama. Di tahun kedua, anggota kie W mulai mengisi jabatan Karo dan Wakasi hingga Kasi.Ini sebuah proses regenerasi dalam tubuh organisasi yang sehat. Dadan Wahyudin mengisahkan.


Bukan cuma Dinas Staf/Suspelat, kursus pun dilanjutkan lebih tinggi, yakni Suskalak. Makbul, Dewi Nurhastuti dan Siti Maria (Kie W) ikut serta bersama satuan lain diadakan di Dodik Secata, Pangalengan, Kab. Bandung. Selama 2 minggu peserta kursus mendapat pembekalan dan gemblengan.

Bila diksar diasumsikan membentuk prajurit sebagai garda terdepan di mana kekuatan fisik menjadi utama, maka Suspelat bertujuan mencetak komandan regu di lapangan setingkat bintara yang biasa melatih para tamtama. Adapun Suskalak setingkat perwira, memegang Kasi atau Kompi. Kursus paling tinggi di menwa adalah Suskapin, bila di militer setingkat Sesko di militer untuk meraih pangkat perwira tinggi, maka di menwa sebagai pelatihan dipersiapkan mencetak pimpinan Batalyon.

Seingat kami, kader Yon II berprestasi gemilang peraih peringkat pertama Suskapin, yaitu atas nama Pak Merjames Pakpahan, sebagai peraih peringkat terbaik Suskapin 1994 diadakan di Pusdikter Cimahi, begitu pulang langsung mendapat kehormatan sebagai Danlat Kie W lama (1994). Sejarah Yon II pun mencatat, bahwa Mbak Widya, Mas Har, dan Bang Cici A. Rusly Purba (kie S) menorehkan prestasi emas di arena Suskapin ini. Perlu diketahui, Suskapin diikuti Menwa se-Indonesia. Peserta Suskapin lainnya seingat saya, Pak Teguh (Gel XXII Cimahi), Pak Ristadi dan Pak Aos Rifatullah (XXIII/1995, Pusdikart Malang). Di Kie W, Siti Maria (PAA) dan Dewi Nurhastuti(Fikom) adalah dua srikandi Kie W tercatat pernah mengecap kursus bergengsi tsb.

Komandan Batalyon II pun beralih ke Pak Ristadi Widodo K (Kie U). Saat itu yang maju dalam pemildan lainnya adalah juniornya Pak Johan Iman Karuniadi (Kie V) dengan mempresentasikan tentang Perlunya Pemberdayaan Anggota Menwa. Saya ikut terlibat dalam Pemildan ini. Pak Ristadi menjadi Danyon periode 1995/1996 didampingi Pak Nurbiyantoni sebagai Wadanyon. Estafet kepemimpin beralih ke Pak Arief Baydillah (kie V) 1996/1997 dan Wadanyon Pak Johan Iman Karuniaadi, dilanjutkan ke Pak Makbul Alkatiri 1997/1998.

Satu catatan, di mana saat kami menjadi Kolat, siswa mencapai titik terendah berjumlah 2 orang. Dia adalah Mamat (PAA) dan Encep Sidik (Fapet). Beruntung di masa Danlat, Pak Ferry dengan Wadanlatnya, Pak Mustopa (Kie W) geliat regenerasi melalui masa "camen = calon menwa" berhasil menjaring anggota sekitar 22 orang. Proses regenerasi pun berjalan dalam keniscayaan.

Pak Makbul selaku Dankie W akhirnya menjadi Danyon II 1997/1998. Ini persembahan tertinggi dari Kompi W terhadap satuan induknya Batalyon II/Unpad. Pak Makbul didampingi Pak Olive sebagai Wadanyon. Suatu souvenir berharga dari Kompi W dalam estafet proses regenerasi kepemimpinan di Yon II sempurna. Sayang, di masa-masa ini saya bergulat dengan tugas akhir menyita seluruh konsentrasi, tak sempat melihat acara pelantikan Danyon ini.

Kompi W, mata rantai kompi di Yon II telah memberi makna dan kontribusi, semoga takkan luntur oleh berlalu zaman dan tak pudar digilas roda masa, tapi tersimpan dalam memori kenangan sekaligus menunjukkan bahwa kita di masa muda adalah orang-orang struggle, heroik dan berdaya juang tinggi.

Bravo Yon II!!! (TAMAT**)

Penulis, Dadan Wahyudin, jurnalis KIe W meliput kegiatan Kiprah Kie W dengan setting tahun 1994-1997.

Catatan, tulisan ini disarikan oleh penulis diangkat dari pengalaman penulis. Mungkin ada versi rekan lain untuk pengayaan sejarah kie w, tulisan ini dieksplorasi dari data-data sebagian telah hilang dalam memori sebagai dokumentasi semoga menginspirasi dan memberi energi tuk berkontribusi bagi nusa dan bangsa.

Rabu, 26 Mei 2010

Kenangan Diksar Kie W (BAGIAN 1, 1-7): KIsah Satu Stel PDL

dimuat di rubrik Kisah Galamedia, 30 Januari s.d. 8 Februari 2011

Segalanya Serbagelap dan Serbamendadak(1)

oleh: Dadan Wahyudin

Yang kucemaskan dalam pendidikan dasar ini bukan beratnya latihan, tapi aku hanya membawa satu stel seragam untuk satu bulan penuh. Penderitaanku makin menjadi, seragam PDL yang kukenakan kekecilan membuatku tidak nyaman bergerak. Bagaimana menyelesaikan diksar itu, Dadan Wahyudin mengisahkannya.


Tahun 1994 aku mendaftar menjadi calon Anggota Menwa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Saat itu danyon II dijabat oleh Mas Har, panggilan bagi Pak Sri Suharyono dan Wadayon Bu Yudhicara. Aku tergolong telat, karena sudah tingkat tiga bersama Makbul, Mustopa, dan Nono Carsono. Setelah lolos seleksi administrasi dan kesehatan, aku pun menempuh uji kebugaran dengan tes lari, sit-up, push-up, scout-jump dan pull-up di lapangan Gasibu. Tes selanjutnya adalah wawancara (screening) hingga Pantuhir.

Saat itu hajatan Kompi U sebagai Kolat. Sebagai Danlat, Pak Merjames Pakpahan, senior alumnus Suskapin yang baru pulang dengan predikat terbaik di angkatannya. Wadanlat, Pak Ristadi WK. Sebagai Danki, Pak Nurbiyantoni dan Bu Ratih Ambarwati Rahayu. Dantonlat, Antonius Ferry dan Lidya Ericka Cinderella Goeltom dari Kompi V. Kasioplat, Alzamri Mawardi. Dantimjas, Pak Teguh Setiawan. Pak Aos Rifatullah, Bu Ambarwati Retno Dewi, tak ketinggalan Pak Handiyono KS dan Pak Marwoto sebagai Polman.Dari Kompi T seperti Pak Iman Soleh, Pa Rexy Alfian, Pak Wawan, Pak Marlon S, Mbak Ipoet, "turut membelai" pipi kami. Dari kompi muda ada Pak Johan, Pak Arief dan Pak Khairul Akbar jadi provost. Belum lagi senior bertampang rangers sejati bikin ciut nyali, seperti: Bang Riyokora, Bang Taufik Bafff, Mas Gimbond, Om Coki, wah banyak nian....



Sebelum dikirim Depo Pendidikan (Dodik) milik Rindam Siliwangi, biasanya siswa (sebutan bagi peserta diksar) mengikuti acara pengkondisian di kampus sendiri disebut pra-diksar. Pra-diksar ini dilakukan oleh para senior di kampusku. Selama lima hari aku dan dua belas kawanku dari berbagai fakultas mengikuti kegiatan mulai materi kelas, cara baris, hingga pembayatan menyusuri selokan kotor berbau di Sekeloa, masuk gorong-gorong hingga merayap di trotoar jalan Siliwangi. Kegiatan ini untuk mengkondisikan siswa agar mudah beradaptasi.

Kegiatan diksar Menwa berbeda dengan Ospek mahasiswa. Dalam Ospek, tugas-tugas biasanya merupakan hal sengaja dibuat alias diada-adakan agar para peserta ospek sulit mendapatkannya dan berbuah sanksi. Cara ini dibuat bertujuan agar mereka bahu-membahu mewujudkan tugas-tugas itu sehingga terjalin ikatan emosi yang tinggi menjadi kompak. Dalam ospek, aku suka menganggap enteng tugas-tugas itu, karena aku siap dengan risikonya. Paling-paling setiap kesalahan kita dapat ditebus dengan hukuman seperti push-up atau tugas tertentu. Lunas!

Tapi dalam diksar Menwa berbeda, karena tugas-tugas itu berguna bagi diri sendiri. Ketika Pak Fery, Danton memberikan tugas-tugas tentang hal harus dipersiapkan, aku tenang-tenang saja. Toh, dalam benakku, kalau mau pemberangkatan ke Dodik, senior pasti memberi tahu kami. Soalnya, siapa yang mau juniornya bermasalah di Dodik nanti. Tentu membuat malu korps.

Keduanya, acara pra-diksar dimulai sejak pagi buta hingga pukul sepuluh malam. Jadi tidak sempat membeli, mencari atau meminjam peralatan dalam waktu yang sempit. Belum lagi rasa lelah setelah olah fisik seharian amat letih. Tak pelak, senior pun kerap menghukumku. Tamparan dan hukuman fisik sering kudapatkan. Tapi salahku sendiri, terlalu menggampangkan terhadap tugas-tugas seniorku. Tentang peralatan diksar, pikirku, pastilah dikasih waktu untuk melengkapi.

Ternyata dugaanku salah besar. Aku kena batunya. Gelegar bunyi petasan di belakangku saat apel pelepasan di Posko membuatku tersontak. Lebih kaget lagi sore itu siswa siap diberangkatkan ke Skomenwa Jabar untuk dikirim ke Dodik selama satu bulan penuh. Alamak!!! Saya hanya bawa satu stel seragam PDL, kaos, plus celana dalam (CD) yang dikenakan hari itu. Untuk CD, Beni kawanku berbaik hati memberiku, ia memiliki 5 buah stok CD baru.

Celakanya, seragam PDL cuma satu stel. Itupun kecil dan ketat tak nyaman dipakai. Sebenarnya, saya sudah beli seragam tapi sedang dijemur karena basah bekas latihan kemarin. Tempat kosku cukup jauh di Ujungberung.

Dalam keadaan galau itulah, tiba-tiba Dantonlat langsung memimpin pasukan berlari menuju Skomenwa. Tiba di Skomenwa, ternyata telah berkumpul calon-calon menwa dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa Barat.

Hari itu, aku tak menyangka sedikitpun bakal diberangkatkan? Ke belantara mana, aku tidak tahu? Semuanya serba gelap. Yang amat mencemaskan bagiku, hari-hari panjang bakal kulalui bukan saja beratnya tempaan fisik dan mental, tapi aku berjuang dengan pakaianku. Ini karena semua serba mendadak. Coba kalau sebelumnya aku tahu, baju basah di rumah akan kubawa.

Dibandingkan rekanku Olive dan Adeng, aku lebih beruntung. Kedua rekanku, ikut diksar dengan persiapan minim. Kalau dia membuat cerita seperti ini, rasanya bakal lebih mengiris dari sisi penjiwaan lebih trenyuh dan nestapa. (bersambung)**


JADI GEMBUL MAKAN (2)

Truk TNI menuju jalan Setiabudi – Ledeng. Hatiku gembira. Pikirku, paling Dodik Cikole atau Pusdikajen – Lembang. Daerah itu wilayahku. Aku lahir di Subang dan besar di Lembang. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


Sebelumnya aku membayangkan bakal dibawa ke Secatam Pangalengan atau Pusdikpassus Batujajar. Tempat itu asing bagiku. Dalam benakku, kawah candradimuka di Secatam dan Batujajar pelatihnya pasti galak-galak.

Ternyata sopir truk membawa siswa ke Dodik Cikole. Begitu tiba, siswa langsung mendapat jatah senjata jenis SP berikut magazen dan helm baja. Hari sudah gelap. Malam itu pula, siswa gladi untuk acara pembukaan esok pagi.



Kira-kira jam tiga pagi, siswa sudah dibangunkan untuk mengikuti jas pagi (olahraga) dan senam senjata. Bagi siswa laki-laki dilakukan secara telanjang dada. Hemmh, suhu Cikole amat dingin menusuk tulang. Nafas kami pun mengeluarkan embun. Tapi suhu tubuh menjadi hangat dengan olah gerak itu.

Kami mandi di bak massal khusus laki-laki. Awalnya sih malu-malu, tapi ketika banyak siswa lain mandi, rasa malu itu kubuang jauh-jauh. Waktu yang terbatas dan kondisi yang ada membuat aku mencoba menikmatinya. Aku pun mandi bareng. Weleh-weleh.....

Setelah salat subuh, tibalah saatnya sarapan pagi. Siswa mengantri ransum. Petugas ransum dengan sabar melayani siswa hingga nomor urut terakhir. Aku dapat satu centong nasi, sayur satu sinduk, dan tempe satu potong.

Makan kali pertama sungguh tidak bernafsu. Aku tidak berselera. Mungkin masih asing dengan lingkungan kesatrian lembaga militer amat kaku. Lapangan luas, tiang untuk pull-up, menara untuk meluncur dan latihan turun tebing, kolam besar, seakan mengucapkan selamat bergabung dengan Dodik. Untuk apa semua fasilitas itu, kalau tidak untuk “menyiksa” kami?

Rutinitas kegiatan di Dodik akhirnya menjadi nafas keseharianku. Sebelum subuh, siswa selalu jas pagi, salat subuh, mandi dan mencuci, makan dan apel pagi, materi kelas, apel dan makan siang, materi kelas, makan sore, materi kelas, apel malam. Rasa kantuk pada materi kelas tak terhindarkan. Dua penyakit melanda siswa, yaitu ngantuk dan lapar.

Tetapi menu makan amat membosankan. Itu-itu juga. Nasi, sayur, asin. Nasi, sayur, tahu. Kalau siang ada sepotong daging atau ikan. Buahnya hanya ada saat makan siang, berupa pisang muli kadang jeruk. Itu thok. Benar-benar membosankan. Kontras dengan situasi di depan kesatrian, berdiri megah Rumah Makan Sindangreret seolah menyapa ramah padaku. Batinku bergumam, hemmh nikmatnya ayam goreng, lotek, jus atau roti bakar... Tetapi apa daya, siswa tidak boleh membawa uang. Semua itu diperiksa ketat sejak di kampus. Naluri mencicipi aneka hidangan hanya terbenam dalam jiwaku paling dalam. Kalau beres diksar, kubalas semua ini ...

Fisik siswa memang dibentuk. Di punggung, siswa pun menenteng beban berupa ransel berisi pasir sekitar 4 kg. Begitu pun di depan, membawa senjata SP seberat 4,2 kg. Belum lagi helm baja. Perut pun dipress oleh kopel. Dan badan dibuat tegap oleh sepatu laras. Sorot mata pun tajam dan berwibawa. Hemh, persis seorang Rangersss !!

Latihan fisik benar-benar menguras energi. Asupan energi berbuah tenaga. Bahkan Olive, kawanku selama dua minggu tidak pernah buang hajat. Aku juga heran, betapa makanan dia dikonservsi sempurna jadi tenaga, dengan residu nol. Selama latihan, meskipun bertelanjang dada di pagi buta, berlari saat gerimis, atau mengenakan baju basah, tidak pernah diserang sakit.

Begitu pula dengan porsi makan. Bila awalnya, makan kurang bernafsu, di minggu kedua, siswa mulai gembul. Karena tidak ada lagi makanan lain, apa boleh buat, ya nasi pun jadi sasaran. Acara makan pun menjadi momen yang amat ditunggu-tunggu. Mengasyikan..... Nasi satu bakul pun ludes dilumat siswa.

Tapi untuk mendapatkan jatah makan harus rela jungkir balik, merayap, push-up, dan lain-lain. Hemmh, betapa tidak gratis semua itu! (bersambung)**

JULUKAN KHAS KAWANKU (3)

KEBERSAMAAN satu bulan membuat karakter masing-masing bisa diselami. Ada yang jago makan, raja tidur, ahli ngerembes, atau siswa korpe. Dadan Wahyudin mengisahkan.


Kalau soal menghabiskan makanan, aku jagonya. Jika nasi kawanku tidak habis, luput dari pandangan pelatih atau senior, aku secepat kilat mengambil nasi punya kawanku. Aku “berbuat kebajikan”, kalau bersisa, kawanku sudah jelas pasti dia mendapat sanksi. Bagiku, makanan dalam situasi seperti itu amat berharga. Jangan pernah membuang satu remeh pun.



Ada hal unik tentang acara makan ini. Biasanya waktu makan dihitung sampai angka sepuluh oleh senior. Celakanya, menu tanpa sayur berbuah petaka alias seret. Akhirnya kukucurkan air pelpes mengganti air sayur, ternyata tokcer deh. Karena siswa lain banyak yang tidak habis, siswa pun disuruh berdiri kemudian berjalan mengitari piring dan berhenti. Makanan yang di hadapan itulah milik siswa yang berada di depannya untuk dihabiskan. Olalala, aku dapat piring yang masih utuh.
Nasib bagus!! Ada kawanku belum sempat makan dalam hitungan sepuluh tadi, setelah diputar kecele mendapatkan piring kosong. Hemmh, kualat dia!!!

Ada lagi raja tidur. Kawanku bernama Yanda. Ketika ia tidur, amat pulas. Susah sekali bangun membuat seluruh penghuni barak suka menerima hukuman, gara-garanya. Saat ada pendadakan (alarm stealing) tengah malam, seluruh kesatrian gelap gulita. Bunyi petasan dan senapan tar ter tor saling sambung-menyambung. Acara pendadakan diasumsikan markas digempur musuh. Pasukan yang tinggal di barak harus siap siaga di tempat yang telah ditentukan dengan seragam dan peralatan lengkap termasuk senjata.
Ketika siswa lain sibuk mempersiapkan segalanya, Yanda masih tertidur. Ketika siswa lain berhamburan menuju posisi masing-masing, Yanda sontak terbangun. Dalam keadaan panik, ia pun membawa selimut dan bantal keluar sambil tak henti berujar: Siap...siap...Siap. Kondisi diksar membawa ke alam bawah sadarnya, dan ia sering terjaga seolah suasana masih diksar.


Akhirnya, kesatrian pun terang kembali. Pelatih mengecek siswa berdasarkan nomor urut di tempat telah ditentukan sebelumnya. Ternyata, banyak yang tidak lengkap. Ada yang pake seragam terbalik. Ada sepatunya tertukar. Ada pula senjata ketinggalan. Lucunya, ketika pasukan dibariskan, Yanda membawa bantal dan selimut. Ada-ada saja.

“Bagi yang tidak lengkap, kalian kami anggap mati atau ditawan musuh!” kata pelatih saat siswa dibariskan dan melanjutkan, “Bagi siswa lengkap, selamat meneruskan tidur dengan mimpi indah. Bagi yang tidak lengkap, kami akan memberi hadiah....” Hadiah? Ya, hadiah berendam di kolam, merayap dan jungkir-balik di tengah malam itu.



Ada lagi kawan suka ngerembes atau gerilya (diam-diam jajan ke warung). Itulah Andi. Andi licin mirip belut. Ia berani keluar kesatrian hanya untuk membeli 5 buah permen. Permen amat berharga sebagai penawar rasa. Andi suka disuruh kawan lain yang masih memiliki uang. Uang itu biasanya disembunyikan di lipatan baju atau ransel atau dalam popor senjata. Sepanjang kutahu, Andi tak pernah tertangkap. Kalau tertawan, berendam di kolam sebatas dada adalah imbalannya.

Lain lagi dengan Nono. Setiap hendak mandi sore, ia suka membawa roti entah dari mana, yang jelas langsung bersembunyi di kamar mandi. Siswa lain pun selalu menunggu Nono dan memburunya hingga ke kamar mandi. Roti satu pun menjadi rebutan kawan-kawan. Nikmat nian, secuir roti di kamar mandi....

Bagi Beni, korpe di kamar mandi lebih mengasyikan ketimbang ikut apel pagi. Meskipun di rumahnya belum tentu serajin itu, tapi pada diksar Beni selalu menawarkan diri sebagai relawan untuk membersihkan kamar mandi dan WC barak setiap pagi. Tentu Beni berkalkulasi cermat, korpe lebih menguntungkan dibanding ikut apel pagi yang selalu disertai pengkondisian fisik. Daripada harus push up, pull up atau skot jump lebih baik gosok lantai dan dinding bak. Gosok-gosok teruuuussss.... Beni pun dijuluki siswa korpe. Kalau Dewi dan Eka, aku lupa? (bersambung)


MELIHAT HANTU JADI-JADIAN (4)

Ada lagi kawanku bernama, Adeng. Saat caraka malam, Adeng ketakutan melihat hantu! Ia jatuh pinsan. Pengalaman buruk ini menerpa mentalnya sehingga menjadi sosok pemurung. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.


Seorang rangers dididik berani, cerdas, dan teguh pendirian. Ini diuji dalam acara “caraka malam”. Dalam kegiatan ini, para siswa diibaratkan seorang kurir. Kurir diperlukan untuk membawa pesan manakala pasukan telah dikepung musuh. Begitu alat komunikasi telah disadap musuh. Kurir ditugaskan membawa pesan mengenai strategi, posisi, atau memohon bantuan. Pesan harus diingat bukan ditulis, kalau ditulis bisa direbut musuh. Pesan itu disampaikan pada atasannya atau orang berhak menerima dengan menyebut sandi terlebih dahulu. Seorang kurir harus teguh dan dipercaya. Karena berhubungan dengan keselamatan dan rahasia berupa data tentang pasukan sendiri.

Dalam kegiatan caraka ini, wajah siswa disamar menggunakan norit. Tangan dan wajahnya hitam legam. Selain itu tubuh kita dilumuri terasi. Aromanya cukup bau segak. Sepintas mirip bayangan setan di waktu malam di mana yang tampak hanya sorot matanya saja. Terasi dipakai mungkin untuk mengusir nyamuk atau binatang lain seperti ular.

Dalam membawa pesan ini, siswa harus berjalan seorang diri dibekali sebatang lilin. Jalan yang dilalui jalan setapak naik turun, melewati semak-belukar bahkan melewati kuburan sunyi. Situasi dibuat mencekam dan menakutkan. Untuk mengaburkan daya ingat pembawa isi pesan, para pelatih berusaha mengganggu perjalanan seorang kurir. Selain itu, dibuat tiruan bunyi-bunyian beraroma magis untuk menakuti-nakuti siswa.

Pesan yang dibawa ada yang pendek atau panjang sampai 5 kalimat. Oleh karena itu seorang kurir harus cerdas. Pesan itu harus disampaikan tidak boleh salah titik komanya. Apalagi bertalian dengan data. Di samping tidak mudah menyerah mempertahankan pesan. Jika sampai jatuh ke tangan musuh bisa fatal.

Saat melewati makam, terdengar suara cekikikan dan gelantungan sosok putih mengagetkan Adeng. Jangankan isi pesan, fisik Adeng pun terkulai roboh. Ia pun digotong ke pos terdekat. Suhu tubuh Adeng mendadak panas. Berkali-kali mengigau. Para senior pun mengurus kondisi Adeng. Selama dua hari Adeng beristirahat di Posko Kesehatan.

Hari berikutnya Adeng aktif kembali. Namun ia terlihat murung. Ia belum pulih benar. Sehari-harinya jadi sering menerawang. Seperti memendam sesuatu amat traumatis. Ia tak seceria kawan lain. Tampaknya secara psikis, mental Adeng telah jatuh.

Aku sih sama sekali tidak takut. Aku pernah mengalami hal ini saat latihan di Pramuka. Penjelajahan melewati kuburan, tempat sunyi dan angker adalah hal biasa. Pernah aku dulu mencari bendera di sebuah makam di keheningan malam berbalut bergerimis di sekolahku.

Kalau soal hantu jadi-jadian, aku sendiri pernah membuatnya dari potongan bambu dibalut kain putih, lalu dikaitkan pada pohon tinggi. Dengan cara menarik-ulur tambang, hantu jadi-jadian efektif untuk menguji nyali anggota mudaku. Agar lebih seram, dibumbui suara rintihan atau jeritan perempuan yang direkam di tape recorder. Sempurna deh.

Yang aku takutkan hanyalah anjing milik penduduk banyak berkeliaran. Gonggongan anjing itu mendebarkan hatiku. Ketakutan itu sering merefleksan kakiku untuk mengajak berlari. Tetapi berlari ketika anjing menggonggong adalah tindakan bodoh. Itu hanya memancing anjing beralih mengejar kita. Kalau beradu lari, aku pasti kalah. (bersambung)**

BLACKFOREST DAN BONGGOL PISANG(5)

Tiga minggu di Dodik, aku mendapat kiriman baju PDL siswa dan kue blackforest dari kakakku. Bak anugrah dari langit, aku gembira tiada tara. Secercah kebahagiaan akan mengurangi penderitaanku. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.

Untuk mendapatkan bingkisan PDL dan kue itu harus ditebus dengan tebusan fisik. Aku push-up, sit-up dan scout-jump masing-masing 15 kali. Langsung kuciumi baju itu. Mataku berkaca-kaca. Bukan apa-apa, seragam itu aku beli di Jatayu dan memang cocok dengan ukuranku. Selama ini aku menderita oleh baju ketat.

Sementara urusan oleh-oleh berupa kue blackforest, terpaksa harus menahan nafas. Kata senior, nanti akan diberikan setelah apel barak alias jam 10 malam sehabis materi kelas. Aku pun mencermati setiap detik demi detik merenda menit dan menyulam waktu menanti malam. Materi kelas dibawakan guru militer kulalui dengan tanpa konsentrasi. Karena pikiranku terbawa oleh aroma blackforest tanda mata kakakku tercinta.

Materi kelas malam pun selesai. Kami melakukan apel malam sekaligus apel barak. Seluruh siswa dibariskan di samping tempat tidur. Lalu menghadap ke pintu barak dan disuruh masuk kolong ranjang dari pintu depan ke ujung pintu belakang satu persatu. Benar-benar menyiksa. Hampir 50 meter panjang barak itu dilalui siswa dengan cara merayap melalui kolong ranjang sebanyak 45 buah. Aku lakukan selama tiga kali putaran. Sialan!

Nafasku naik-turun. Belum juga aku tenang, tiba-tiba senior memanggil namaku ke depan. Inilah momen kutunggu-tunggu. Menikmati kiriman kesukaanku. Akan tetapi kecele. Senior meminta persetujuanku atas nama jiwa-korsa, kue itu harus dicicipi dan dinikmati oleh seluruh siswa berjumlah 175 orang. Gile? Gimana cara membaginya? Ya, akhirnya seorang demi seorang siswa di barakku mendapat secuil kue. Lumayan juga buat cuci mulut masam...

Pernah aku siasati staf Kolat. Dengan memohon izin mau membayar SPP, pikirku aku bakal bebas meninggalkan Dodik sesaat. Hari itu hari Jum'at. Staf Kolat memberiku izin sehabis salat Jum'at. Waah, betapa nikmatnya, aku mau makan dulu di kaki lima di Pasar Lembang atau minimal di rumah kakakku di Lembang.

Pas jam J, eh si Mang Yono, sebagai polman ikut mendampingiku. Semua rencanaku gagal total. Aku diantar naik angdes Lembang - Cikole, naik ojeg ke BTN Pusdikajen. Ke rumah kakakku aku cuma titip pesan, bahwa titipa SPP nanti saja. Aku kembali lagi dengan hati kecele.

Ada satu kebanggaanku, Aku turut berkontribusi bagi kawan-kawanku. Saat itu sedang survival di Gunung Keramat selama 3 hari. Hari itu hari kedua, tampak Eka dan Beni sedang menyiapkan bonggol pisang hutan untuk dimasak. Mereka ingin mempraktikan teori survival.

“Hai, apa yang kaumasak itu?” tanyaku heran.
“Bonggol pisang hutan dan pucuk daun paku!” jawab Eka sambil menyalakan parafin.
“Sakit perut nanti. Sudah, tunggu saja aku sebentar,” kataku sambil menghilang dibalik lebatnya gunung Karamat. Hasrat ingin membantu kawan-kawanku dilakukan, karena aku mengetahui situasi dan medan di sekitar itu. Pendeknya, aku tahu jalan balik.

Aku ditemani Adao, kawanku dari STKS asal Timor Timur. Aku melewati parit di tengah kebun teh untuk mengaburkan pandangan pelatih dan senior. Kalau tertangkap, risikonya jadi tawanan. Sesampai di jalan raya, aku memberhentikan mobil bak. Tiba-tiba ada sepeda motor Kapten Supar, sepertinya ke arah Subang. Aku merebahkan diri. Selamat!!

Setelah naik mobil bak yang kustop, tibalah di Ciater. Aku menyambangi penduduk dan memohon dengan sukarela. Dengan senang hati, sang empunya rumah membekaliku beras 3 gelas, ikan asin, dan mie instant. Saat melihat warung nasi, naluri makanku timbul. Kuberanikan diri, meski aku cuma pegang uang Rp. 1000.

“Pak. Uang saya cuma seribu rupiah. Saya mohon nasi cukup dengan tempe,” kataku. Aku pun makan dengan lahapnya. Begitu juga kawanku. Hemmh, baru kali ini aku menjumpai makanan warung. Kawanku mendapat titipan membeli roti 5 buah.
“Sudahlah, makan saja olehmu sebagian. Kalau ketangkap pelatih kita tidak rugi...” usulku.
“Ini sih pesanan kawanku.”, jawabnya .
“Ini darurat, kawan! Makan sebagian aja daripada dirampas...” kataku. Tapi ia tetap teguh menjaga amanatnya. Aku pun naik mobil tumpangan lagi, kali ini bus Seskoau TNI-AU dan berjalan langsam di tengah kebun teh sekitar Dayang Sumbi.

Di tengah kebun teh turun dan naik lagi menuju tempat survival. Lokasi itu dijaga ketat para senior dan pelatih. Aku selamat. Andai saja kawanku tertinggal di Ciater, wah dia susah kembali.

“Ini baru makanan sehat bukan bonggol pisang...!” kataku memberikan natura yang kuperoleh dari penduduk. Kawan-kawanku pun sumringah. Aku sendiri sudah kenyang makan di warung.

Itulah kisah heroik ngarembesku. (bersambung)

BAHAGIA YANG TAK SAMPAI (6)

Setelah materi kelas usai dilanjutkan latihan berganda di lapangan selama 5 hari. Kami berjalan kaki menuju Sagalaherang mendapatkan materi long march, survival, navigasi, latihan penyergapan bivak, senam BDM, dan lain-lain. Pelantikan semakin dekat. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.


Tampak Mus, Eka, Dewi saling menebar senyum di depan barak. Begitu Yanda, Makbul, Maria berbicang diselingi tertawa lepas. Tak terkecuali, hatiku riang gembira. Diksar di Dodik telah usai. Esok pagi di Stadion Siliwangi seluruh siswa bakal dilantik Pangdam Mayjen TNI Muzani Syukur saat itu menjadi seorang menwa. Acara hari itu tinggal gladi resik untuk upacara pelantikan esok pagi. Makan malam terakhir di Dodik terasa nyaman dan santai, karena tidak diburu-buru oleh hitungan senior lagi. Apalagi hiburan kawan-kawan dari ASTI cukup menghibur.

Jam enam pagi, lima truk TNI beriringan membawa siswa menuju Stadion Siliwangi di Jalan Lombok. Rombongan mendapat pengawalan dari provost menggunakan sepeda motor besar. Begitu tiba, siswa langsung berbaris di lapangan. Tampak para seniorku menyambut hangat. Aku bangga. Wajah-wajah kaku berubah menjadi cair. Saling menebar senyum dan ucapan selamat mengalir padaku dan kawan-kawan.

Tepat jam 10.00, seluruh peserta diksar dilantik menjadi anggota menwa dan berhak menggunakan baret ungu. Sungguh bangga dan bahagia. Akhirnya kami dinyatakan lulus. Kami saling mengucapkan selamat.

Namun, belum juga puas menumpahkan kesumringahan hati, tiba-tiba seniorku mengajak bergegas naik truk TNI. Ternyata kami dibawa ke kampus kami istirahat sebentar. Di sana, diberi nasi bungkus. Dan melakukan salat duhur.

Rasa kepenasaranku belum habis, Mengapa seniorku yang tadi mengumbar senyum tiba-tiba bermuka tegang dan hambar lagi? Ada apa gerangan? Belum rasa kepenasaranku terjawab, kami disuruh bergegas naik truk kembali.Tampak senior baru kulihat, Pa Sugiyo. Wajah masih asing bagi kami dan ditempa oleh alam ekstrim Timtim selama 2 bulan dan menenteng pistol FN seolah mengucapkan "selamat menikmati materi Timtim". Ada Pa Diki, veteran Timtim juga. Wahh, Kolat banyak banget.

"Pak Harto sakit keras...?" kata seorang kolat. Hatiku belingsutan. Kami hanya melongo. Maklum sebulan penuh kami puasa informasi baik koran, televisi atau telepon. Kami dikarantina habisss. Belum juga pulih kesadaran, tiba-tiba sopir truk militer menyalakan mesin mobilnya. Truk pun segera meluncur.

Kegembiraan yang tengah bersemi dan perlahan tumbuh, tiba-tiba layu dan terkulai. Seberkas kebahagiaan mulai terajut berangsur redup seketika berubah rasa gundah, frustasi, dan kecewa. Kawan-kawan lain memilih tidur. Tampaknya, persetan dengan semuanya, mereka sudah pasrah mau dibawa ke mana pun.

Menurut senior, kami baru memperoleh baret ungu alias sebagai menwa. Belum diterima di satuan batalyon. Untuk meraih brevet yon II harus melalui tahapan kegiatan Latihan Tradisi Korps (Lantraks) di bawah gemblengan para senior dan alumni. Wuaahh, mampus kami! Berapa lama lagi harus menjalani latihan?

TRUK TNI berputar di segitiga Lembang menuju arah Maribaya. Ternyata menuju daerah persiapan awal di Cibodas. Tiba di sana sudah sore, Dantonlat membawa kami berkejaran dengan waktu magrib, takut keburu malam untuk tiba di Batuloceng. Sebelumnya, daerah persiapan awal direncanakan di Pasanggrahan, daerah Wanayasa, Purwakarta. Lalu dilanjutkan kegiatan perahu karet LCR dan tidur kalong di Situ Lembang. Penjelajahan melalui Cireod dan Cikawari menuju Cibodas. Karena menjelang bulan puasa Ramadan, jadi rute Lantraks terpaksa dipangkas.



Perjalanan merebut brevet batalyon dimulai di Batuloceng, Suntenjaya. Kondisi sudah malam dibalut hujan rintik-rintik, diisi kegiatan caraka malam. Di sini, senior dengan "puas" memberi "pelajaran" bagi juniornya. Kelelahan abis, kami segera berkemah.

Belum juga mata ini terpejam sempurna, tiba-tiba di tengah malam buta, tembakan salvo membangunkan kami. Tak ayal, pendadakan malam (stealing) membuat tenda kami tercerabut. Menu "sarapan" jas malam kunikmati. Kami pun tidur kembali di bawah kelelahan amat sangat....

Paginya kegiatan diisi pembinaan teritorial dengan masyarakat sekitar. Kami dibekali secangkir beras untuk dimasak. Caranya nebeng ama penduduk. Inilah masa rehat paling nikmat. Saya memiliki sisa uang dilipatan seragam, kusuruh anak penduduk yang ayahnya kerja di toko meubeul daerah Cicadas - untuk beli roti ke warung. Kami makan kenyang. Sisanya ransum untuk di perjalanan.

Disusul latihan menembak di kawasan gunung Palasari dan HTF (How To Find) menempuh jarak 5 kilometer. Pa Marwoto telah siap dengan pistol FN terkokang. Katanya, untuk mempersiapkan diri jangan-jangan siswa berbalik arah, dan nekad menghabisi Kolat. Hemhh, serem juga, analisa mantan Danpolman ini.



Di perjalanan, kami mendapat materi teknik penyergapan bivaks (tenda) oleh Pa Aos. Dalam skenario, ada gerak-gerik gerombolan berposisi di hutan terdekat. Setelah diintai intensif dan cukup data, gerombolan disergap. Materi demi materi belum usai, ternyata perjalanan masih panjang. (bersambung).


INSIDEN DI SAAT PELANTIKAN (7)

Rupanya teknik penyergapan bivaks (tenda) merupakan materi untuk dipersiapkan pada acara demonstasi saat pelantikan siwa di kampus nanti. Secercah harapan pendidikan dasar akan berakhir tersirat dari latihan demo ini kian intensif. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.

Beberapa kali penyergapan bivaks diperagakan oleh kami. Gerombolan di dalam bivaks tertangkap tangan dan sebagian tewas. Daerah pun aman kembali. Itulah skenario yang diberikan pada sesi materi di perjalanan. Setelah dikuasai, kami pun melakukan long march menuju Tahura Dago Pakar.

Kemudian dilanjutkan menuju kampus PAA - Unpad Dago. Di sini mengalami pendadakan (stealing) sekali lagi. Tak henti-hentinya senior dan alumni memperdayai kami. Saat itu selesai mengantri makan malam. Baru saja dua sendok, tiba-tiba rentetan suara peluru dan petasan amat mengagetkan. Sesuai prosedur harus segera bergegas mengambil posisi tiarap dan siaga.

Malam itu dikerjai habis-habisan. Setelah melalui pengkondisian fisik dan mental, kami dibawa ke aliran sungai Cikapundung. Di daerah sekitar Curug Dago itulah, tiba-tiba saja Bang Riyo membuat hati kami merasa nyaman. Belum pernah selama ini, senior berbicara dari hati ke hati. Bang Riyo mengingatkan niat awal kita menjadi mahawarman dengan bahasa yang menyentuh hati. Bang Riyo membuka kenangan saat mendaftar, seleksi, pradiksar, diksar hingga lantraks. Tak terasa, air mata kami jatuh terbawa aliran sungai Cikapundung menuju hilir. Kami dilantik sesuai tradisi senior.

Kami baru sadar, telah meninggalkan orang tua dan kawan-kawan lain cukup lama. Kami pun berpelukan, berjabat tangan, dan mengucapkan syukur tiada henti. Setelah salat subuh dan sarapan pagi, langsung bergegas menuju lapangan Teuku Umar, persis di samping Unpad. Di sini, diyakinkan kembali untuk acara demonstrasi penyergapan bivaks sekaligus menentukan tugas-tugas yang harus dipikul saat peragaan dilakukan.
“Siapa yang siap bertindak penembak SO!” tanya Pa Aos, penanggung jawab acara demo.
“Saya!” kata Olive mantap.

Mengagumkan, ternyata seremoni penutupan ini dihadiri orang tua yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Benar-benar rapi. Di samping itu undangan dari pihak kampus dan undangan lain dari lembaga sejawat. Kami dilantik Kasmenwa, Indra Bangsawan (IKIP).

Peragaan penyergapan bivaks didahului oleh regu pengintai. Setelah situasi kondusif, Makbul, komandan regu memberi isyarat untuk mengunci posisi bivaks. Dilanjutkan kontak tembak rentetan bunyi senjata. Kamia angkatan terakhir yang boleh membawa senjata ke kampus. Kami dibekali sepuluh butir peluru hampa. Aplaus hadirin pun membahana. Sebuah penyajian demonstrasi dikemas apik.

Olive menyalakan bubuk mesiu di dalam bivaks, tiba-tiba langsung tersungkur. Darah pun bersimbah keluar dari luka di lehernya. Penonton pun bertambah meriah. Aplaus pun membahana. Mereka mengira semua itu adalah bagian dari skenario.

Melihat gelagat tak beres, para senior segera mengevakuasi Olive dibawa ke sebuah mobil. Mobil langsung meluncur menuju RS Boromeus. Tepuk tangan tak henti-henti mengaplaus peragaan tersebut.



Ternyata, kejadian Olive terkena ledakan petasan di dalam bivaks adalah insiden di luar skenario. Saat mendapat tugas menyalakan bubuk mesiu, Olive terlambat menghindar. Tiga ledakan petasan besar tersimpan di dalam bivaks menghempaskan dirinya dan roboh seketika. Acara yang seharusnya berakhir dan sukses, harus ada injury-time menunggui Olive di rumah sakit. Wajah-wajah letih juga tampak dari para senior. Tanggung jawab senior dibuktikan rela menggadaikan waktu istirahat mereka dengan telaten menunggui Olive. Beruntung, seluruh siswa diasuransikan sehingga pembiayaan Olive ditanggung pihak asuransi. Olive telah menjadi sosok fenomenal.

Sepasang seragam PDL lusuh menjadi saksi bisu telah mengantarkanku menjadi anggota menwa dan menyimpan beribu kenangan. Kini tergantung rapi di sudut kamarku. (Bersambung ke: KOMPI W DALAM SEJARAH YON II/UNPAD: KLIK LINK di SAMPING Kanan Postingan ini) :



Penulis, Dadan Wahyudin, jurnalis Kie W, tulisan dengan setting tahun 1994-1997

Rabu, 06 Januari 2010

Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1-5)



Keluarga H. Handi Junaedi
dimuat Galamedia 6-10 Agustus 2009


Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1)
Galamedia, Kamis 06 Agustus 2009

Anakku, Jangan Mengasong di Kereta Api!

KISAH Pak H. Handi Junaedi, seorang pemangkas rambut tradisional ini, cukup inspiratif. Khususnya perjuangannya dalam memberi pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam keterbatasan finansial, ia berhasil menyekolahkan 8 anaknya tanpa putus sehingga lahir beberapa orang doktor, lulusan magister, juga sarjana. Hampir semua keluarga anaknya bisa menunaikan ibadah haji, termasuk dirinya dan istri. Apa dan bagaimana kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


PENDIDIKAN adalah barang mahal di kampungku. Kebiasaan di lingkunganku, hampir semua anak sebayaku menjadi pedagang erteh sejak SD. Erteh ini singkatan dari air teh yang diberi gula mirip teh botolan. Tak heran ketika bel sekolah berbunyi, hampir semua anak berlarian mengambil barang dagangannya, yaitu erteh, sambil menuju stasiun kereta api Pagaden. Banyaknya kereta api yang singgah di stasiun menjadi lahan rezeki bagi mereka. Berdagang erteh merupakan batu loncatan untuk meniti karier selanjutnya di kereta api. Karier tersebut adalah berdagang asongan, seperti rokok, tisu, pecel, ketan bakar atau kopi hangat. Jika musim buah-buahan, mereka pun menjajakan buah mangga, rambutan, dukuh, dan sebagainya.

Dengan berdagang sejak belia, kawan-kawanku pun mengerti arti dan nilai uang sejak belia. Kehidupan di stasiun yang menawarkan sejumlah materi pun ternyata membuat semangat belajar menurun. Kawan-kawan sebayaku lebih tertarik dengan uang recehan dibanding membicarakan matematika atau latihan Pramuka. Hal itu yang membuat tingkat pendidikan mereka tak lebih dari SD, karena lebih memilih menjadi pedagang asongan di kereta. Semakin jauh mengasong dari stasiun Pagaden, seperti ke Jakarta atau Cirebon, maka ia akan semakin disegani rekan-rekannya.



Sayangnya, kehidupan di sekitar stasiun dikenal ketat, keras, dan terkadang liar. Wajah seram dan garang preman, juga pedagang asongan, bercampur dengan pengamen dan pengemis. Sungguh pemandangan yang membuat hati berdebar-debar. Sambil menunggu kereta api, kegiatan yang mereka lakukan adalah main kartu. Bahkan seringkali hingga mengabaikan waktu dan dibumbui taruhan. Jahatnya, hasil usaha seharian untuk anak istri bisa ludes digunakan berjudi. Pemandangan lain kerap dijumpai, hampir setiap sore sejumlah pemuda hanyut dalam pesta minuman keras. Kekerasan, perkelahian, dan tawuran pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas tersebut.

Kerasnya kehidupan sebagai pedagang asongan ini dialami Pak Handi semasa muda. Dan insiden jatuh dari kereta api yang membuatnya terluka, mendorongnya untuk menjadi tukang cukur seperti profesi ayahnya. Tapi pengalaman dan kehidupan di stasiun yang keras, membuatnya berpikir ulang untuk mengizinkan anak-anaknya mengais rezeki di antara desakan penumpang dan penatnya gerbong kereta api. Meski hanya lulusan sekolah rakyat (SR) tanpa memiliki properti selain rumah bilik yang dihuninya, namun Pak Handi mampu berpikir jauh ke depan. Ia bertekad menyekolahkan anak-anaknya semaksimal mungkin. Salah satu tujuannya, mengubah nasib keluarga. Optimisme itu ditunjukkan dengan antusiasmenya saat menemani sang anak di hari pertama sekolahnya. Pesannya pada sang anak, "Dengan pendidikan, nasib seseorang dan keluarganya bakal berubah, termasuk bangsanya". Itulah petuah yang berhasil membakar semangat belajar anak-anaknya. Sebuah cita-cita yang dinilai nyeleneh di kampungnya saat itu. Tempat di mana hampir semua remaja di sana mulai meniti kariernya berdagang di kereta api dan menikah di usia muda. Tapi Pak Handi dan sang istri mendoakan yang sebaliknya untuk para buah hatinya. "Jangan jadikan anak-anak kami berdagang asongan di kereta api..." batinnya. (bersambung ke bagian 2)**


Galamedia, Jumat, 07 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (2)

Melewati Pilihan Dilematis

SEJAK tahun 1968, anak pertama Pak Handi masuk madrasah ibdtidaiah di kampungnya. Disusul anak keduanya di sekolah yang sama. Sekolah setingkat sekolah dasar itulah yang ada di kampungnya saat itu. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.



BEGITU pun yang ketiga dan keempat, mereka menuntut ilmu di sana hingga semuanya melanjutkan ke madrasah tsanawiyah. Ada satu hal yang janggal dengan keluarga Pak Handi dibandingkan umumnya masyarakat saat itu. Anak-anak Pak Handi tidak terbawa hanyut bersama kawan-kawannya menjajakan erteh di stasiun. Meskipun diiming-imingi gemerincing uang, hal itu tidak memancing hati untuk turut berdagang. Mereka tidak pula terbawa kebiasaan menikah di usia belia. Aktivitas sekolah dan kegiatan ekskul mampu mengalihkan perhatian untuk memiliki pacar.

Dalam menyiasati hidup, Bu Handi sesekali menerima jahitan dari tetangganya tanpa tarif alias seikhlasnya. Lumayan untuk membantu menambah biaya hidup sehari-hari. Kalau ada lebihnya, disiapkan untuk biaya SPP anak-anaknya.

Untuk menyiasati risiko sehari-hari, Bu Handi membuat sayur dengan kuah yang diperbanyak. Kedua, menu yang dipilih bukan kesukaan salah satu anaknya, melainkan kesukaan semuanya. Tak jarang cukup ditambah dengan cengek diulek dengan garam, makanan pun bercitarasa. Dalam hal keperluan sandang, baju dijahit sendiri. Yang penting cocok dipakai dalam segala suasana, pagi, sore ataupun malam. Ini salah satu cara menghemat keperluan sandang.

Dalam menyekolahkan anak-anaknya penuh romantika, penuh suka dan duka. Terlambat membayar iuran atau SPP kerap dialami anak-anaknya. Tak heran ada beberapa anaknya yang harus berjemur dulu menunggu sekitar 15 menit saat akan ikut ulangan sebagai sanksi terlambat membayar uang bangunan atau SPP. Keterbatasan itu juga membuatnya berhadapan dengan pilihan yang dilematis. (bersambung ke bagian 3)**

Galamedia, Sabtu, 08 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (3)

Sekolahlah Sampai Mentok

"KAU boleh sekolah sampai mentok!" Begitu kata Pak Handi saat dimintai pendapatnya ketika anak pertamanya akan ikut Sipenmaru pada 1981. Sebelumnya Pak Handi menginginkan anaknya segera menikmati buah usahanya yakni menjadi guru SD. Bagaimana kisah selengkapnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


TEKAD keras anaknya untuk mencoba Sipenmaru meluluhkan hati Pak Handi. Namun sekolah sampai mentok yang dimaksud Pak Handi jelas bukan program doktoral (S3) sebagai jenjang pendidikan tertinggi, tapi mentok dalam arti biaya. Ketakutan akan biaya kuliah, mungkin ungkapan polos dan spontan yang meluncur dari bibir Pak Handi. Ibarat baterai kalau energinya habis, ya sudah tamat alias sampai di sana kisah kuliah anaknya, meski gagal sebelum menyentuh finis.


Cita-cita Didi, anak Pak Handi yang saat itu ingin kuliah adalah sebuah cita-cita tak lazim. Hampir seluruh kawannya mengabdi menjadi guru SD selulus SPG. Menjadi guru SD di kampung dengan istri yang juga seorang guru cukup membahagiakan. Punya gaji dengan rumah yang ada kolam ikannya, kebun bunga dan sayuran serta binatang peliharaan, hidup tenteram. Tapi rasa penasaran mencoba potensi diri ikut Sipenmaru lebih kuat. Ditambah ia pun memiliki beasiswa Pikiran Rakyat semasa di SPG. Didi memang peraih juara ketiga siswa teladan tingkat SLTA se-Jabar tahun 1980 dan berhak mendapatkan beasiswa Pikiran Rakyat selama satu tahun.

Tapi untuk itu ia harus menghadapi tantangan, hambatan, dan sikap skeptis warga di lingkungannya. Keinginan Didi untuk kuliah hanya menjadi bahan olok-olok tetangganya. "Emangnya punya duit berapa si Handi? Untuk makan anak-anaknya saja sulit!", "Kalau mau kuliah harus punya modal 3D (duit, dulur, dekat)!", "Apa mampu anak miskin hidup di kota besar", dll. Menyakitkan. Beruntung Didi cukup tegar. Ia mampu menepis semua itu dengan aktivitas di kampusnya dan berprestasi.

Menurut Didi, saat kos di daerah Negla, ibunya selalu memberinya bekal tempe kering yang dimasak bersama kacang dan teri sebagai menu untuk satu bulan. Jarang sekali ia membeli nasi bungkus atau makanan instan seperti mi. Ia biasa menanak atau membuat nasi liwet. Berasnya dibawa dari kampung, satu karung terigu penuh.

Rupanya Allah SWT memberi jalan. Didi terpilih menjadi Ketua Hima. Saat itu Hima Bahasa Inggris mengadakan kegiatan semacam bazar dan ternyata rugi hampir Rp 2 juta. Tapi kerugian ini ternyata membuka potensi luar biasa dirinya. Karena untuk membayar kerugian itu, seluruh mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek menerjemahkan modul-modul bahasa Inggris oleh dosennya. Dan tak lebih dari 5 orang yang pekerjaannya terpakai, termasuk Didi. Tentu saja ini dapat menambah uang sakunya.

Selepas D3 harusnya seluruh mahasiswa ikatan dinas diwajibkan mengajar di SMP di berbagai pelosok daerah, jika ingin melanjutkan ke S1. Tetapi tidak bagi Didi. Ia memperoleh nilai tertinggi di kelasnya dan masuk kategori boleh melanjutkan tanpa harus mengajar dulu di SMP. Tahun 1986, ia lulus S1 dan langsung mengabdikan diri di almamaternya, IKIP Bandung. Ucapan Pak Handi boleh sekolah hingga mentok benar-benar menjadi kenyataan, dengan diraihnya gelar doktor (S3) pada tahun 2006 di Gedung Partere Isola UPI dan tak lama, gelar profesor pun diraih dalam usia relatif muda 46 tahun. (bersambung ke bagian 4)**


Galamedia, Minggu, 09 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (4)

Memilih Perguruan Tinggi Berstatus Negeri

MEMILIH perguruan tinggi negeri (PTN), itulah salah satu hal yang dilakukan Pak Handi dalam menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Dengan memilih PTN, biayanya lebih murah karena disubsidi pemerintah. Selain itu, mudah mendapat beasiswa dan berbagai fasilitas tersedia, seperti dosen, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain dijamin lengkap. Seakan menjadi aturan tidak tertulis, anak-anaknya harus kuliah di perguruan tinggi negeri. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya berikut ini.


UNTUK masuk PTN harus melalui ujian saringan masuk yang dipersiapkan melalui belajar yang sungguh-sungguh. Tanpa belajar yang baik dan tekun, kecil kemungkinan bisa berhasil. Apalagi persaingannya sangat ketat. Satu hal yang harus dicatat, anak-anak Pak Handi diterima di PTN tanpa satu pun yang mengikuti les privat atau bimbingan belajar.

Resepnya antara lain mempelajari soal-soal bekas ujian masuk PTN, baik dengan memfoto kopi, meminjam atau membeli buku pembahasan soal-soal untuk latihan. Lalu, memahami bentuk dan karakter soal, karena soal-soal selalu berulang dari tahun ke tahun. Caranya kerjakanlah soal sampai muncul jawabannya. Hal itu tentu saja harus dibarengi dengan belajar giat dan berdoa.

Di bangku kuliah, selain mencari ilmu pengetahuan, juga aktif di beberapa unit kegiatan. Ini sangat membantu memperoleh wawasan, pengalaman, atau relasi pergaulan yang luas. Di samping itu dapat dijadikan media mengasah dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Cara ini berkaitan erat dengan kompetisi dalam memperoleh pekerjaan setelah lulus nanti. Manfaatkanlah kampus untuk melatih dan mengembangkan talenta kita.

Untuk urusan biaya kuliah, anak-anak Pak Handi kreatif mencari pembiayaan sendiri karena kiriman orangtua tak bisa diandalkan sepenuhnya. Tak heran anak-anaknya menyambi jadi tenaga honorer di sekolah, berjualan kerudung, buku, atau memberi les privat door to door. Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, mereka tidak sungkan meminta bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa. Di PTN, beasiswa cukup banyak, terutama bagi yang memerlukan. Sayang kalau niat baik pemerintah dan perusahaan swasta ini dilewatkan begitu saja. Dengan mengurus proses pengajuan beasiswa dan telah memenuhi sejumlah persyaratan, akhirnya beasiswa seperti TID (Tunjangan Ikatan Dinas), Supersemar, PPA (Peningkatan Prestasi Akademik), PT Tifico, HU Pikiran Rakyat didapat. Beberapa mahasiswa sering enggan mengurus persyaratan administratif perihal keterangan penghasilan atau domisili orangtua. Padahal, beasiswa sangat membantu dalam menempuh studi selanjutnya.

Menikmati dan menghadiri acara wisuda tentu sangat membahagiakan bagi Pak Handi dan Bu Handi. Hampir seluruh PTN di Bandung, seperti IKIP, Unpad, ITB, dan IAIN SGD mengundangnya sebagai tamu civitas akademika saat wisuda anak-anaknya. Termasuk di STAN/Prodipkeu Jakarta tahun 1996. Undangan wisuda pun makin istimewa saat Didi dan Siti dikukuhkan sebagai doktor (S3) pada tahun 2006 dan 2007 oleh Rektor UPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata. Tradisi wisuda dilanjutkan cucu Pak Handi dan Bu Handi. Sungguh momentum yang indah dan membahagiakan. (bersambung)**

Galamedia, Senin, 10 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (5)

Tukang Cukur Tradisional itu Jadi Tamu Allah
BISA berziarah ke Tanah Suci adalah impian umat muslim. Di kampungku, orang yang berangkat haji biasanya juragan beras atau pemilik toko material alias orang kaya. Bagi orang-orang kurang mampu atau pas-pasan, bermimpi pun rasanya tidak pede. Tapi tidak bagi Pak Handi, ia selalu berdoa di keheningan malam untuk bisa diberi kesempatan menunaikan Rukun Islam yang kelima itu. Bagaimana kelanjutan kisah Pak Handi? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

SEORANG tukang cukur tradisional dengan beban 8 anak yang harus diberi makan, disekolahkan, dan diberi baju, bermimpi ke Tanah Suci, di mata tetangganya sesuatu hal yang mustahil, baik secara logika maupun matematis. Bahkan mereka menyindirnya sebagai pungguk merindukan bulan.

Tetapi tidak bagi Allah SWT. Apa pun yang dikehendaki-Nya, kun fayakun, jadi maka jadilah. Setelah tiga keluarga anaknya lebih dulu menunaikan ibadah haji, di awal tahun 2005 bersama keluarga anaknya yang keenam, Pak Handi menyusul memenuhi panggilan sebagai tamu Allah SWT. Tentu ini karunia yang luar biasa. Rahmat dan kenikmatan diberikan Allah SWT pada hamba yang dikehendaki-Nya.

Untuk urusan ONH, Pak Handi tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Untuk memberangkatkan Pak Handi dan istrinya, anak-anaknya berinisiatif menyodorkan sirkulir secara sukarela dan terkumpul dana yang cukup untuk ONH berdua. Dengan cara ini, besar atau kecil, semuanya bisa berpartisipasi. Di Tanah Suci pun, Pak Handi merasa nyaman, karena ditemani keluarga Ade M., anaknya. Sepulang dari Tanah Suci, Pak Handi mendapat nama haji, Haji Abdurahman dan istrinya, Hajjah Uswatun Hasanah. Kemudian disusul keluarga anaknya yang ketujuh di tahun 2006 dan insya Allah disusul yang lainnya.



Keluarga Pak H. Handi telah memberi warna dalam kehidupan. Niat tulus dan tekad yang dibarengi usaha serta doa telah mengubah kehidupan Pak Handi sekeluarga. Hal itu sesuai dengan rumus kehidupan bahwa kalau mau hidup sejahtera maka genggamlah pendidikan, karena dengan pendidikanlah orang menjadi cerdas dan beradab.

Hal ini memotivasi tetangga dan kerabat di kampungnya untuk berupaya menyekolahkan anak-anaknya. Tidak lagi sebatas imbauan pemerintah dalam wajardiknas sebatas lulus SD atau SMP, tapi lebih dari itu. Bila dulu anak-anak sejak remaja diarahkan untuk berdagang asongan di kereta api dan menikah di usia belia, kini mereka sudah terpacu oleh semangat dan keberhasilan Pak Handi. Di antara delapan saudara Pak Handi kini telah lahir 3 orang akademisi atau sarjana.

Pesan di atas pun dapat ditimba pembaca, keterbatasan dan kekurangan ternyata tidak membuat kita harus patah semangat dan menyesali kehidupan. Tapi dengan optimisme dan usaha sungguh-sungguh disertai doa, niscaya Allah SWT akan memberi jalan terbaik. Anak-anak Pak H. Handi kini telah bekerja di berbagai instansi dan profesi. Mereka adalah Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed.; Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd.; Pupu Marfuah; Dra. Hj. Yani Maryani; Dadan Wahyudin, S.Pt ; H. Ade Muhtar, M.M.; Hj. Tati, S.T.; dan Lina M., S.P. Di usianya yang mencapai 64 tahun, Pak H. Handi memilih pensiun dari profesinya sebagai tukang cukur. Kegiatan mencukur kini hanya dilakukannya pada anak dan cucu-cucunya. Waktunya lebih banyak dicurahkan untuk menemani cucu-cucunya yang mencapai 38 orang. Kini ia tinggal di Hegarmanah Melongasih Cimahi. (tamat)**

Penulis, Dadan Wahyudin