Selasa, 29 Desember 2009

Kisah Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (1-5)


Galamedia,
Selasa, 22 Desember 2009

Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (1)
Menyimpan Keanehan dan Dianggap sebagai Kehormatan

PAK Salim yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Mantri, memiliki kebun okulasi tersendiri. Dalam bekerja, Pak Mantri lebih banyak menyendiri. Di mata warga, ia seakan asing dan menyimpan misteri. Apa dan bagaimana kisah Pak Mantri selengkapnya?
Dadan Wahyudin mengisahkannya.

KEBUN okulasi Pak Mantri ibarat kebun terlarang (forbidden garden), tak bisa dimasuki sembarang orang. Hal itu mengundang tanda tanya. Bagi Pak Mantri, kebun okulasi itu merupakan kehormatan di atas segalanya. Ia rela bertaruh segalanya demi sebidang tanah yang digunakan sebagai kebun okulasi bibit pohon mangga. Kebun itu ibarat denyut napas sehari-harinya.

Perusakan kebun atau orang yang slonong boy (tanpa permisi) masuk acap kali dianggap pelecehan sekaligus penghinaan baginya. Tak segan Pak Mantri menghalau dan melukai siapa pun yang mencoba mengusik ketenangannya.

Terletak di tepi Kali Cimarakan dan dipagari deretan pohon tua seperti asem, reunghas, dan angsana, membuat kebun okulasi itu tampak hening dan sepi. Sementara batas dengan tegalan dipagari pohon ketela dan lamtoro yang dijepit bambu sehingga kegiatan di dalam hampir tidak tampak dari luar.

Beberapa pohon tua menjadi peneduh di lokasi itu membuat suasana terasa beraroma mistis. Apalagi adanya sebuah nisan di dekat saung Pak Mantri membuat bulu kuduk merinding. Oleh sebab itu, jarang sekali warga biasa lewat atau sengaja mencari tahu aktivitas keseharian Pak Mantri di sana.

Tetapi tak jauh dari kebun itu, terdapat tegalan untuk menggembala ternak. Selain tanahnya agak lapang, rumput pun melimpah ruah sehingga cocok untuk padang penggembalaan. Biasanya sepulang sekolah, aku dan kawan-kawan sengaja menggembalakan ternak di daerah itu. Sambil menunggu domba buncir (kenyang), aku biasanya menyabit rumput untuk pakan tambahan di malam hari. Dilanjutkan bermain dengan kawanku. Tapi satu hal kuingat, kawan-kawan tidak berani menyentuh kebun okulasi milik Pak Mantri.

Pada pagi hari kebiasaanku adalah mengikat induk domba di patok atau pohon tegalan. Dengan demikian, domba jantan dan anak-anak domba tidak akan pergi jauh. Siang harinya baru aku, temanku Dayat, Nanang, Aris, Ruslan, Nadi, dan Juhari berkumpul. Petang hari, domba sudah buncir. Dengan riang gembira kami membawa pulang domba-domba ke kandangnya.

Jika penggembala lengah dan domba itu masuk ke kebun okulasi, urusannya bisa gawat dan panjang. Pak Mantri tak segan melukai ternak itu. Bahkan mungkin kejadian lebih tragis dapat disaksikan. Tak heran, kebun okulasi Pak Mantri dijuluki sebagai daerah "X" (dibaca eks, red). Bukan karena terletak di RT 10, tapi kebun okulasi itu menyimpan misteri sehingga X tidak dibaca sepuluh dalam angka Romawi, melainkan seperti "Mr. X" bermakna variabel, sarat teka-teki. Teka-teki itu menyimpan misteri. Membuatnya semakin angker dan pantang dimasuki. Bukan hanya kejadian kasat mata, tapi di daerah X banyak dijumpai kejadian aneh dan tiba-tiba yang cukup mengejutkan. Fenomena itu sulit diukur secara nalar dan logika. Itu pula yang menjadi dasar untuk menjuluki kebun okulasi Pak Mantri dengan sebutan daerah X. (bersambung)**

Galamedia,
Rabu, 23 Desember 2009



Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (2)
Aris Dipanggil Makhluk Halus Penunggu Pohon Reunghas

ARIS mendadak sakit panas gara-gara nekat memasuki daerah X. Saat itu Aris mencari si Kuntring, anak dombanya yang hilang. Domba milik Aris ini diduga tersesat setelah menerobos pembatas pagar daerah X. Aris pun berupaya keras mencari dombanya. Ia masuk lewat celah pagar yang agak longgar. Lama mencari, belum juga ketemu. Hingga akhirnya ia sampai ke dekat pohon reunghas yang cukup geueuman di pinggir Kali Cimarakan. Pohonnya tinggi besar dan akarnya kuat menghujam bumi. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

TIBA-TIBA Aris melihat sesuatu. Matanya terbelalak. Sesosok bayangan berkelebat. Kepalanya mendadak pusing bukan kepalang. Dalam kondisi itu, Aris seolah mendengar suara tanpa diketahui sumbernya. Suara itu menyebut namanya berkali-kali. Aris menggigil ketakutan. Ia pun bergegas menjauhi tempat itu. Dengan susah payah, Aris berhasil keluar kebun okulasi.

Ketika ditemukan Dayat dan Nadi, ia terkulai lemah. Keduanya segera membawa Aris ke rumahnya. Pak Sartim, ayahnya sontak kaget. Aris terus mengigau dengan suhu badan yang tinggi, membuat Pak Sartim kian panik.

Suara yang memanggilnya terngiang di telinga. "Ampun...ampun...!" Aris berusaha bangkit, ketakutan seolah hendak berlari. Orang-orang segera menenangkanya. Aris melewatkan malam itu dengan penuh kegelisahan, berontak dan mengigau. Kadang-kadang menggumamkan sesuatu. Sampai keesokan harinya, kondisi Aris tak berubah. Seorang kerabat Pak Sartim lalu memanggil Ki Surdi, orang pintar di kampung itu. Ki Surdi pun tak berapa lama tiba.

"Sepertinya kasambang. Pohon reunghas itu ada penunggunya. Mereka terusik tatkala anak bapak mendekatinya," gumamnya. Ki Surdi segera minta air putih dan beberapa sesuguh. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Air digelas itu diminumnya. Ki Surdi lalu memejamkan mata dan menyemburkannya ke muka Aris.

"Aaah...!" Aris merintih kesakitan. Sebelum kemudian tertidur.

"Untunglah, cuma jin kecil. Dia sudah pergi. Sekarang biarkan dia tidur pulas," kata Ki Surdi sambil mengeringkan kampretnya yang basah. Pak Sartim merasa lega melihat Aris tenang.

Dua hari setelah kejadian itu, Aris masih istirahat di rumah. Tubuhnya mulai pulih. Nafsu makannya membaik dan pikirannya berangsur normal. Ia pun menanyakan si Kuntring, domba miliknya yang hilang. Ternyata si Kuntring ikut rombongan domba milik Nanang. Aris gembira. Nalurinya mengajaknya kembali ke padang penggembalaan, bercengkerama dan bersenda gurau bersama kawan-kawannya. Selama Aris sakit, dombanya digembalakan Dayat, tetangga di sebelah rumahnya. Aris pun tersenyum. (bersambung)**

Galamedia,
Kamis, 24 Desember 2009



Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (3)
Domba Masuk Kebun, Pak Mantri Marah Besar

TAK pernah terbayang sebelumnya olehku, Pak Mantri dan istrinya marah besar. Pak Mantri mengejar mencari anak-anak gembala. Ia marah besar hari itu. Kawanan domba yang digembalakan luput dari pengawasanku dan kawan-kawan. Aku sedang asyik berenang di Kali Cimarakan. Udara yang panas membuat aku dan kawan-kawan tergoda berendam mengademkan diri. Airnya yang deras meninabobokan kami, sehingga kami semua bermain air sesuka hati. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.

RUPANYA tanpa disadari, kawanan domba itu masuk ke daerah X. Dipimpin induk paling tua, domba lain ikut-ikutan menerobos masuk. Di dalam kebun, kawanan domba bukan saja memakan rumput, tapi juga pucuk dan daun bibit pohon okulasi.

"Celaka! Gawat! Domba kita masuk ke daerah X!" teriakku sambil menunjuk kawanan domba yang masuk melalui celah pagar.

"Bahaya! Kita sembunyi saja di balik batu itu!" teriak Dayat sambil membawa baju yang dilepasnya, mencari tempat persembunyian. Begitu juga kawan-kawan yang lain.

Ternyata memang benar. Tak berapa lama, kawanan domba keluar dihalau melalui pintu depan oleh Pak Mantri. Muka Pak Mantri merah padam. Napasnya naik turun. Dengan ranting kayu di tangan, ia tak segan memukul kawanan domba sepuasnya. Tak heran sebagian domba berjalan tertatih-tatih akibat terkena pukulan. Pak Mantri celingukan mencari si empunya untuk dihardik habis-habisan.

Pak Mantri boleh marah besar. Simbol kebanggaannya diacak-acak. Faktor lain yang membuat Pak Mantri geram adalah diembatnya dua ekor ayam jantan kepunyaannya oleh anak gembala. Ayam jantan Pak Mantri dipotong sebagai lauk pada hajatan galeng buntu kemarin. Hajat ini kerap dilakukan para anak gembala sebagai tradisi di penghujung musim kemarau dan menanti tibanya musim hujan. Hajat ini cukup menarik. Beras, cabai, bawang, dan bumbu-bumbu lain diperoleh bukan dengan cara membeli, tetapi meminta-minta ke pasar dan tiap rumah. Itu dilakukan semua anak gembala tanpa kecuali dengan menggunakan topi caping. Untuk lauknya, ada aturan tidak tertulis, ayam yang berkeliaran di tegalan boleh diburu demi meriahnya pesta anak gembala. Kebetulan, ayam Pak Mantri menjadi sasaran.

Pak Mantri kian geram. Ia mencari lokasi persembunyian anak-anak, di bawah pohon angsana, Kali Cimarakan, dan Cadas Ngampar. Tetapi kecele. Namun Pak Mantri tak kalah akal, sore hari bersama istrinya, ia menjumpai orangtua kami. Pak Mantri mengutarakan perihal kerusakan pohon okulasi dan ayam miliknya yang raib. Tak ingin mempanjang masalah, orangtua kami mengganti semampunya.

Sehari setelah kejadian itu, esoknya tak ada yang berani menggembala. Kawan-kawan masih trauma. Tapi hari berikutnya, padang penggembalaan perlahan mulai ramai. Mereka beraktivitas seperti sedia kala. (bersambung)**

Galamedia,
Sabtu, 26 Desember 2009


Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (4)
Mengungkap Tabir Kematian Domba Milik Penggembala

TAK disangka induk domba milik Ahmad ditemukan mati mendadak di pinggir kebun okulasi. Ahmad belum lama ikut bergabung dengan grup penggembala. Ia dibelikan domba oleh ayahnya saat dikhitan. Beruntung induk dombanya tak berapa lama melahirkan setelah dibeli. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

TETAPI kegembiraan itu tak lama, induk domba milik Ahmad yang ditambatkan di padang penggembalaan tiba-tiba ditemukan terbujur kaku di tepi kebun okulasi. Kejadian itu serta-merta membawa luka di hati Ahmad dan kawan-kawannya. Benar-benar aneh, karena pagi harinya domba tersebut masih segar-bugar. Ahmad meninggalkannya saat masuk sekolah.

Anehnya domba itu mati tanpa luka atau goresan. Kemungkinan kepala domba dipukul benda tumpul. Belum sempat misteri kematian domba milik Ahmad diungkap, tiba-tiba domba milikku juga tergolek dengan lidah terjulur dan perut kembung seperti habis menenggak racun.

Kematian beruntun di penggembalaan itu semakin memicu kecurigaan tentang sesuatu di daerah X. Kabar itu cepat tersiar. Para orang tua mulai tersulut emosinya. Mereka tak sabar menyingkap siapa biangkerok algojo domba sebenarnya. Begitu juga aku dan kawan-kawan tak sabar untuk turut serta.

"Kita harus tahu, apa yang sesungguhnya Pak Mantri lakukan di daerah X," kata Pak Sartim.

"Ya, setuju. Kita labrak Pak Mantri. Ini sangat merugikan. Siapa tahu besok lusa giliran domba kita yang disantet," teriak Pak Ahdi seraya mengepalkan tangannya.

Pak Sartim, Pak Ahdi, Pak Sarkiya, dan Pak Juhri langsung menyambangi kebun okulasi Pak Mantri diikuti olehku dan kawan-kawan. Tampak Pak Mantri sedang sibuk mengokulasi bibit pohon mangga. Pak Sartim cs mengamati secara cermat apa yang dilakukan Pak Mantri. Tangan terampil Pak Mantri terlihat dengan cekatan menguliti bibit pohon mangga dengan pisau khusus, kemudian menempel mata pucuk disimpan dalam wadah.

Tiba-tiba Pak Mantri tersenyum kepada tamu yang datang. Ia mempersilakan Pak Sartim cs duduk di saungnya. Menurut Pak Mantri, proses okulasi membutuhkan konsentrasi penuh. Keberhasilannya amat bergantung pada perlakuan, situasi, dan kondisi di sekitarnya. Jangan sampai terkelupas gara-gara tersentuh anak-anak atau pucuknya dimakan domba. Semua proses tersebut harus dilakukan secara teliti, hati-hati, dan sabar. Itu sebabnya Pak Mantri terkesan tertutup dan keras dalam melatih disiplin agar anak-anak tidak lalai menjaga gembalaannya.

"Kalau kematian domba milik Ahmad?" tanya Pak Ahdi.

"Itulah yang ingin dijelaskan. Domba milik Ahmad mati tercekik tambang pengikat yang membelit lehernya. Saya berusaha membuka jeratannya, tapi sungguh malang, domba itu sudah tidak bernapas lagi. Saya tidak berani berbuat lebih, karena takut disangka macam-macam," jelas Pak Mantri panjang lebar.

"Kalau domba milikku?" tanyaku.

"Dombamu meminum air bekas orang meracun ikan di sungai itu. Bukan saja dombamu, bahkan anak sapiku mati karena meminum racun yang ditinggalkan orang tak bertanggung jawab," jelas Pak Mantri sambil menunjuk kuburan kecil di pinggir saungnya. Semua terdiam. Hening. Kami telah salah sangka. (bersambung)**

Galamedia,
Minggu, 27 Desember 2009

Misteri Kebun Okulasi Milik Pak Mantri (5)
Padang Penggembalaan Domba itu Tinggal Kenangan

MINGGU pagi di tahun 1987, tidak seperti biasanya, Pak Mantri mendatangi rumah orangtuaku. Ada pesan istimewa buat orangtuaku. Pesan apa yang hendak diutarakan Pak Mantri? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

TERNYATA Pak Mantri menyampaikan bahwa dirinya telah menerima SK pensiun sebagai pegawai yang menjaga lahan milik Dinas Pertanian dan mohon maaf kepada penduduk setempat atas segala perilakunya selama ini. Keluarganya harus bergegas meninggalkan rumah dinasnya. Pak Mantri membeli sebidang tanah untuk dijadikan tempat hidup bersama keluarganya.

Setelah Pak Mantri pensiun, kebun laboratorium pembibitan mangga sesekali masih dirawat Pak Mantri, bolak-balik dari rumah barunya, namun tidak seintensif dulu. Tukar guling status kepemilikan berlarut, membuat Pak Mantri lebih berkonsentrasi di sebidang lahan miliknya. Kebun itu sempat digarap Pak Enjang dengan menanami talas dan ketela, tapi dikelola secara alakadarnya.

Kebun okulasi yang mengantarkan Pak Mantri meraih penghargaan tingkat kabupaten itu, akhirnya benar-benar telantar. Pagar di sekeliling kebun yang dulu terlihat kokoh dan berwibawa semakin amburadul. Orang pun mulai berani berbuat seenaknya. Begitu pun kawanan domba yang dulu dirasa tabu, kini banyak yang merumput di sana. Pohon mangga okulasi yang dulu tertata rapi, hijau, dan segar, kini tampak mengering.

Puncaknya pada tahun 1993 ketika ada proyek pelebaran jalan yang melewati daerah itu telah menyita lahan bekas perkebunan mangga Dinas Pertanian. Selain pelebaran jalan, wilayah itu digunakan untuk membangun pasar tradisional dan terminal bus serta fasilitas lainnya. Aroma magis kebun okulasi ternyata belum pudar, terbukti pihak pengembang masih percaya memberi tumbal kepala kerbau dan sesaji di area bekas kebun okulasi itu demi kelancaran proyek tsb.

Kini bukan saja kebun okulasi tamat riwayatnya, tapi padang penggembalaan pun setali tiga uang. Tak ada suara domba mengembik, juga tawa lepas dan polos anak-anak gembala. Tak dijumpai pula permainan anak-anak, berenang di Kali Cimarakan, mencari ikan dan belut serta menyabit rumput. Tak ada keceriaan anak-anak yang memanjakan dirinya bermain layang-layang di tegalan itu. Semuanya sudah disimpan rapi dalam album kenangan.

Kini semua permainan berbasis gerak dan natural yang dilakukan anak-anak digantikan permainan digital marak di kampungku. Desah dedaunan dan semilir angin sepoi-sepoi berubah dengan bising deru knalpot bercampur asap dan debu. Kota kecil tak pernah mati oleh hiruk-pikuk bongkar-muat, adu-tawar, dan dinamika denyut kehidupan amat pesat. Lembar kehidupan berbasis kebersamaan pun berangsur berganti oleh derap kehidupan individualistik dan saling berlomba mengejar materi. Matahari kian panas membakar tanpa peneduh lagi. Kebun okulasi tinggal kenangan. (tamat)**

Berpose di bekas lahan Kebun Mangga milik Dinas Pertanian yang kini sudah menjadi terminal bus.

Sumber : http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?wartakode=20091227143401&idkolom=kisah

Selasa, 17 November 2009

Kisah Anak Grosir Kelontong (1-5)


Galamedia, Minggu, 8 Nopember 2009

Kisah Anak Grosir Kelontongan (1)

Sarjani Anak Keluarga Berada

ANAK adalah amanah. Selain sebagai ladang amal saleh yang mendatangkan pahala, anak pun dapat menjadi sumber fitnah yang merusak orangtuanya. Berikut ini perjalanan hidup Sarjani (bukan nama asli) yang dikisahkan Dadan Wahyudin.

SARJANI adalah kawan sekelas semasa di sekolah di kampungku. Kisah Sarjani kontras dengan kisah penulis sebelumnya di rubrik "Kisah", 5-10 Agustus 2009 (baca: "Mengubah Nasib dengan Pendidikan") tentang keterbatasan berbuah kesuksesan. Sarjani yang merupakan anak tunggal dari keluarga berada, keluarga Haji Sueb, justru bernasib tragis.

H. Sueb dikenal sebagai pedagang berhoki besar. Sebagai juragan grosir kelontongan, kiosnya selalu ramai dikerubuti langganan. Haji Sueb begitu tersohor di kalangan pedagang setempat di kota kecil di wilayah pantai utara (pantura). Entah pakai jimat atau amalan apa, yang jelas usaha keluarganya terus berkembang. Jika awalnya hanya memiliki satu jongko, akhirnya 4 jongko pun terbeli. Begitu pun properti, tiga rumah berikut sawah dan kolam mampu dibelinya.

Sarjani kecil dikenal anak cerdas. Ia pandai dalam pelajaran matematika maupun sains. Tak heran, Sarjani tanpa kesulitan menyelesaikan pendidikan dasar di kampungnya. Di sekolah, Sarjani selalu dikelilingi karib-karibnya. Bukan apa-apa, karena ia selalu membuat kawannya senang. Sarjani selalu mentraktir kawan-kawannya.

Di pagi hari dan waktu istirahat, mereka sering nongkrong di kantin sekolah. Senda gurau, celotehan, dan canda ria ala anak-anak usia sekolah membuat Sarjani selalu tenteram. Baginya tak jadi soal, karena orangtuanya selalu memberikan bekal cukup bahkan lebih selama di sekolah. Kawan-kawan Sarjani tentu senang kecipratan mencicipi rezeki Sarjani.

Sarjani pun tumbuh menjadi remaja. Dengan memiliki bokap dan nyokap serba berkecukupan, tak sulit bagi Sarjani bila menginginkan sesuatu. Tinggal bilang sama ibunya, tak berapa lama barang yang diinginkan dapat segera terwujud. Mainan terbaru cukup komplet di rumahnya. Sama halnya ketika menginginkan sepeda motor, tak lama kemudian motor seri terbaru sudah nongkrong di teras rumahnya.

Bila sebelumnya Sarjani cukup puas bermain sama kawan sebaya di sekitar kampungnya. Dengan sepeda motor, daya jelajahnya makin jauh. Kini ia tak puas cukup nongkrong di perempatan di daerahnya, tapi merambah ke kota kabupaten yang ramai di malam hari. Pergaulan dan lingkungan telah membawa Sarjani semakin larut untuk mejeng, ngebut, ngerumpi, dan foya-foya. Bila dulu yang ia traktir cukup kawan sekolah dasar dan SMP, kini di samping kawan-kawan satu SMA, relasi pun bertambah luas, termasuk teman cewek turut nimbrung dalam bagian geng Sarjani. Hal itu tak jadi soal, karena orangtua Sarjani adalah orang kaya. (bersambung)**

Galamedia, Senin, 9 Nopember 2009

Kisah Anak Grosir Kelontong(2)
Studi ke Luar Negeri

DEMI kesuksesan Sarjani, Haji Sueb, sang ayah, rela merogoh kocek lebih dalam. Selepas SMA, Sarjani pun terbang ke luar negeri, kuliah di Malaysia. Bagaimana kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

KULIAH. Satu kata yang memiliki gengsi di lingkungan di mana Sarjani tinggal. Apalagi ada embel-embel luar negerinya, sempurna. Ketika Sarjani hendak berangkat, Haji Sueb mengadakan syukuran. Tak tanggung-tanggung, ia mengundang penceramah kondang dan masyarakat sekitar. Acara pun makin meriah karena Haji Sueb juga memberi amplop berisi uang kepada masyarakat yang turut mendoakan kesuksesan anaknya.

Sarjani pun diantar kerabatnya hingga Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta saat itu. Dengan menggunakan Garuda Airways, Sarjani terbang menuju Kuala Lumpur. Haji Sueb turut mengantar dan menitipkan anaknya pada pengelola (semacam yayasan) di mana anaknya kuliah. Sarjani kini menjadi mahasiswa.

Tapi kondisi di negeri jiran amat berbeda dengan lingkungan di negeri sendiri. Itulah yang membuat Sarjani tidak kerasan. Sarjani selalu canda ria, gelak tawa, juga celoteh kawan-kawannya yang selalu menggoda. Tak heran baru sebulan, Sarjani telah bergegas pulang. Yang dituju bukan rumah Haji Sueb, tapi rumah Otas, kawannya, sebagai tempat tetirah. Baru setelah itu ia pulang ke rumahnya.

Atas rayuan Haji Sueb dan kerabatnya, Sarjani pun kembali ke negeri jiran. Haji Sueb menginginkan Sarjani menjadi sarjana lulusan luar negeri. Ia harus memperoleh kedudukan dan pangkat. Sarjani harus dapat dibanggakan sebagai penerus keluarga. Haji Sueb pun berkeyakinan bahwa anaknya akan meneruskan "dinasti"-nya di kampungnya menjadi orang terhormat.

Namun apa lacur, ternyata untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Manusia hanya bisa berkeinginan dan berusaha, Tuhan jualah yang menentukan. Sarjani ternyata minggat dari Malaysia. Meski didukung kiriman finansial yang memadai, ia tetap tidak betah. Semakin ditahan, keinginan pulang kampung semakin menggebu. Hati Sarjani pun berontak.

Untuk menghindari rasa malu dan cemoohan tetangga, Sarjani sengaja tinggal di rumah Otas. Sekitar 13 km dari rumahnya, terhalang dua desa. Untuk memenuhi kebutuhan makan, rokok atau uang sehari-hari, ia menyuruh Otas sebagai kurir untuk meminta kiriman uang pada orangtuanya. Apa dikata, sebagai orangtua, Haji Sueb tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya ia pasrah memenuhi keinginan anak semata wayang yang amat dicintainya itu. (bersambung)**

Galamedia, Selasa, 10 Nopember 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (3)

Bisnis Sarjani Gagal


SEPULANG dari negeri jiran, Sarjani kepincut mojang Bandung, Hani (bukan nama asli). Akhirnya mereka menikah. Sarjani lalu mencoba beternak sapi perah. Bagaimana kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

PERTEMUAN Sarjani dengan Hani terjadi secara tak sengaja. Saat itu Hani tengah menunggu angkot dengan duduk-duduk di pujasera. Kebetulan Sarjani dan Otas tengah menunggu Herman, janjian di pujasera. Hani saat itu hendak bersilaturahmi pada bibinya di daerah pantura. Pertemuan itu berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Mereka pun akhirnya sepakat menikah.

Kab. Bandung bagian selatan, tempat tinggal Hani, memiliki topografi berbukit-bukit. Wilayah itu dikenal dengan kebun tehnya, juga kina, sayuran, dan sapi perah. Potensi itu rupanya ditangkap Sarjani. Ia berniat mengembangkan budi daya sapi perah. Dengan merayu Haji Sueb, dana pun cair. Haji Sueb menjual satu rumah dan sebagian sawahnya untuk usaha susu ini.

Jadilah Sarjani bos sapi perah. Ia membeli lima ekor sapi induk. Saat itu harga satu ekornya mencapai Rp 12 juta. Dana yang dihabiskannya untuk membeli peralatan dan pembuatan kandang tak kurang dari Rp 80 juta. Usaha produksi susu pun siap dijalankan. Sarjani mengerjakan dua orang karyawan untuk menyabit dan mencacah rumput, juga membersihkan kandang dan memerah sapi.

Tapi bisnis sapi perah Sarjani ternyata merugi. Harga susu amat fluktuatif. Bila produksi susu melimpah, sering ditolak koperasi dan dibuang percuma. Hal lainnya, Sarjani tidak mudah kerasan. Ia sering bolak-balik ke rumah orangtuanya. Kebiasaannya berkumpul dengan teman-temannya pun tidak berubah. Selain itu, meski telah menikah, Sarjani lebih menomorsatukan Otas, Herman, dan lain-lainnya yang sering juga bertandang ke tempat tinggalnya. Tatkala mereka datang, Sarjani asyik berkelakar ditemani kopi hangat, rokok, dan aneka makanan hingga melupakan statusnya yang telah berkeluarga. Belum lagi iringan musik dangdut yang diputar keras. Semakin membuatnya lupa waktu.

Hani sendiri sebenarnya istri yang tabah. Dengan telaten dan sabar, ia mendampingi suami yang temperamental alias mudah marah dan tersinggung. Ternyata baru diketahuinya Sarjani bermental tempe, tidak mandiri, dan mudah dipengaruhi kroco-kroconya. Tipe suami pemuja masa lalu. Sarjani pun semakin egois. Kesabaran Hani pun mencapai batasnya. Tangan Sarjani kerap melayang kala terjadi pertengkaran. Riak-riak rumah tangga itu pun terakumulasi, berubah menjadi gelombang prahara. Membuat biduk yang rapuh hancur berkeping. Kurang dari setahun berumah tangga, mereka bercerai. Sarjani melego sapi-sapinya asal jadi uang dan meninggalkan kampung tersebut.

Sementar di kampungnya sendiri, Sarjani tertipu mentah-mentah oleh proyek investasi saham yang ternyata fiktif. Puluhan juta uang penjualan sawah orangtuanya melayang sia-sia. (bersambung)**



Galamedia, Rabu, 11 Nopember 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (4)

Preman Pilihan Terakhir Sarjani


SARJANI berkali-kali gagal. Studi, bisnis, dan cintanya kandas sudah. Rasa malu terhadap warga di sekelilingnya membuat Sarjani nekat. Bersama Bomer, ia hijrah ke Ibu Kota. Bagaimana kisah selanjutnya, Dadan Wahyudin mengisahkannya.

BOMER adalah kawan Sarjani di SMP. Ia sudah sepuluh tahun mengadu nasib di bilangan Tanah Abang. Ketika Bomer mudik, ia bertemu Sarjani. Gayung pun bersambut. Awalnya Bomer menawarkan Sarjani untuk bekerja. Ternyata, kerja menjadi preman di daerah Tanah Abang. Kegalauan, frustrasi, dan kegagalan berkali-kali membuat Sarjani memilih ajakan ini.

Dunia premanisme amat akrab dengan kekerasan dan hukum rimba untuk menentukan siapa pemenang dan pecundang dalam berebut kekuasaan. Ini menjadi sisi menarik bagi Sarjani. Ia telah tercampak dari kehidupan normal. Sarjani pun segera menanggalkan seberkas nilai-nilai kehidupan yang masih bersemayam pada dirinya yang diperoleh Sarjani sejak kecil. Ia berubah drastis menjadi sosok tak mengenal belas kasihan, bebal, dan rakus.

Satu hal membedakan Sarjani dengan gengnya, bila preman lain dilahirkan oleh lingkungan ekstrem sehingga beradaptasi keterbatasan dan kekurangan untuk survive. Sarjani tidak, ia dibesarkan materi berkecukupan dan sifat manja. Ini kelemahan Sarjani, tidak bisa menjadi "preman sejati". Sarjani cuma keras manakala menggertak kedua orangtuanya agar memenuhi apa yang diinginkannya. Sarjani tidak bisa kompromi dengan urusan perut.

Sementara usia Haji Sueb semakin sepuh. Satu per satu harta milikinya dijual untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan Sarjani. Usaha Haji Sueb ahir-ahir ini amat terpukul, setelah terbakarnya pasar lama. Ia menempati petak di kios sementara. Lokasi yang jauh dari pusat keramaian, membuat konsumen ogah datang. Sementara pengeluaran Haji Sueb kian menjadi-jadi. Hampir setiap bulan sekali, Sarjani meminta "jatah" hidup di Jakarta. Kalau tidak diberi, Sarjani mengancam, baik dengan ucapan maupun fisik. Dengan ketus, Sarjani pun menguras barang-barang Haji Sueb untuk dilego menjadi uang segera.

Suatu hari, Sarjani ditemani keroconya, belingsutan seperti tengah mencari seseorang. Matanya menengok ke kiri dan kanan, mulutnya bau alkohol menyengat, dan mukanya merah padam. Sebilah golok terhunus di tangan kanannya.

"Mana Haji Sueb dan istrinya? Sembunyi di mana? Saya hanya minta jatah bulan ini, tidak lebih dua juta," kata Sarjani. Warga sekitar gemetar ketakutan dan memilih bersembunyi.

"Kalau ketemu, saya bunuh si tua bangka itu!" kata Sarjani bertolak pinggang sembari mengacung-acungkan golok terhunus.

Untungnya Haji Sueb dan istrinya disembunyikan pengurus RW setempat sebelumnya. Sarjani tidak berhasil menemukannya. Ia benar-benar telah menjadi anak durhaka. (bersambung)**

Galamedia,
Kamis, 12 November 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (5)

Mencari Kedua Orangtua

MINGGU pagi, tidak seperti biasanya, Haji Sueb bergegas menemui Pak RT. Ada pesan khusus yang disampaikannya pada Pak RT. Apa dan bagaimana, Dadan wahyudin mengisahkannya.

TERNYATA pesan itu adalah pesan terakhir Haji Sueb dan istrinya yang menyatakan, rumah yang sudah dihuninya selama bertahun-tahun, ternyata sudah dijual untuk membereskan utang pribadi dan anaknya. Itu adalah properti terakhir yang dimiliki Haji Sueb, setelah jongko dan properti lainnya turut terkuras dijual sebelumnya. Sementara perkakas di dalamnya tidak dijual dan Haji Sueb memberikannya kepada warga yang mau atau bisa dimanfaatkan sebagai inventaris RT.

Dengan menjinjing dua tas plastik hitam, Haji Sueb dan istrinya melangkah menuju stasiun. Entah ke mana kereta api akan membawanya. Tidak ada yang tahu. Yang terasa amat berat, mereka harus meninggalkan tempat yang telah ditinggalinya sejak menikah dulu. Tempat mereka sama-sama berjuang membangun pilar keluarga, meletakkan sendi-sendi kehidupan, sapait-samamanis, membangun hunian, merintis usaha, dan membesarkan anak semata wayang. Anak semata wayang yang dikasihi dan dibela serta dimanja itu, kini berubah menjadi sumber kehancuran. Haji Sueb harus kembali lagi ke titik awal, tanpa properti, tanpa anak, dan tanpa arah yang dituju.

Betapa segala sesuatu di dunia tidak kekal. Istri, anak, dan harta hanyalah ladang amal bagi manusia untuk mendapatkan pahala berlipat. Anak bisa menjadi sumber pahala manakala kedua orangtua meninggal, tetapi dapat juga menjadi fitnah pembawa kerusakan. Begitu pun jariah berupa harta, bisa menjadi harta yang hakiki jika bisa terus ditimba pahalanya. Maka rugilah bila harta kita habis sebelum sempat beramal jariah.

Menurut warga, sebulan setelah kejadian itu, seperti biasa Sarjani menagih "jatah" kepada orangtuanya. Namun alangkah kagetnya ia saat mendapati rumahnya telah kosong dan dijual. Wajahnya mendadak pucat. Saat menanyakan alamat orangtuanya yang baru, tak seorang warga pun bisa menjawab. Begitu juga para kerabat yang dijumpai, tak ada satu pun yang tahu ke mana Haji Sueb pergi. Sarjani hanya bisa pulang dengan langkah gontai, hampa dan kosong.

Dua tahun setelah kejadian itu, Sarjani dikabarkan sakit. Tubuhnya terkulai lemah. Badannya kurus kering. Bibirnya tak kuasa mengucapkan kalimat sempurna. Ia hanya memeluk erat foto kedua orangtuanya dengan kerinduan yang amat sangat. Bibirnya hanya bergumam lirih menyebut kata ayah dan ibu. Beberapa orang terdekatnya, tergerak mencari keberadaan orangtua Sarjani, tetapi hasilnya nihil. Mereka mendatangi kampung asal ayahnya, tetapi kerabat di sana mengatakan tak pernah bertemu Haji Sueb dalam tiga tahun terakhir. Begitu juga saat dicari ke kampung ibunya, hasilnya sama. Mereka tak pernah menjumpainya selama tiga tahun. Begitu pun tempat-tempat yang diperkirakan akan disinggahi Haji Sueb dan istrinya, tidak memberikan petunjuk. Sampai Sarjani meninggal, kedua orangtuanya tidak diketahui rimbanya. (tamat)**

Sumber : http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?idkolom=kisah&wartakode=20091108144741