Selasa, 17 November 2009

Kisah Anak Grosir Kelontong (1-5)


Galamedia, Minggu, 8 Nopember 2009

Kisah Anak Grosir Kelontongan (1)

Sarjani Anak Keluarga Berada

ANAK adalah amanah. Selain sebagai ladang amal saleh yang mendatangkan pahala, anak pun dapat menjadi sumber fitnah yang merusak orangtuanya. Berikut ini perjalanan hidup Sarjani (bukan nama asli) yang dikisahkan Dadan Wahyudin.

SARJANI adalah kawan sekelas semasa di sekolah di kampungku. Kisah Sarjani kontras dengan kisah penulis sebelumnya di rubrik "Kisah", 5-10 Agustus 2009 (baca: "Mengubah Nasib dengan Pendidikan") tentang keterbatasan berbuah kesuksesan. Sarjani yang merupakan anak tunggal dari keluarga berada, keluarga Haji Sueb, justru bernasib tragis.

H. Sueb dikenal sebagai pedagang berhoki besar. Sebagai juragan grosir kelontongan, kiosnya selalu ramai dikerubuti langganan. Haji Sueb begitu tersohor di kalangan pedagang setempat di kota kecil di wilayah pantai utara (pantura). Entah pakai jimat atau amalan apa, yang jelas usaha keluarganya terus berkembang. Jika awalnya hanya memiliki satu jongko, akhirnya 4 jongko pun terbeli. Begitu pun properti, tiga rumah berikut sawah dan kolam mampu dibelinya.

Sarjani kecil dikenal anak cerdas. Ia pandai dalam pelajaran matematika maupun sains. Tak heran, Sarjani tanpa kesulitan menyelesaikan pendidikan dasar di kampungnya. Di sekolah, Sarjani selalu dikelilingi karib-karibnya. Bukan apa-apa, karena ia selalu membuat kawannya senang. Sarjani selalu mentraktir kawan-kawannya.

Di pagi hari dan waktu istirahat, mereka sering nongkrong di kantin sekolah. Senda gurau, celotehan, dan canda ria ala anak-anak usia sekolah membuat Sarjani selalu tenteram. Baginya tak jadi soal, karena orangtuanya selalu memberikan bekal cukup bahkan lebih selama di sekolah. Kawan-kawan Sarjani tentu senang kecipratan mencicipi rezeki Sarjani.

Sarjani pun tumbuh menjadi remaja. Dengan memiliki bokap dan nyokap serba berkecukupan, tak sulit bagi Sarjani bila menginginkan sesuatu. Tinggal bilang sama ibunya, tak berapa lama barang yang diinginkan dapat segera terwujud. Mainan terbaru cukup komplet di rumahnya. Sama halnya ketika menginginkan sepeda motor, tak lama kemudian motor seri terbaru sudah nongkrong di teras rumahnya.

Bila sebelumnya Sarjani cukup puas bermain sama kawan sebaya di sekitar kampungnya. Dengan sepeda motor, daya jelajahnya makin jauh. Kini ia tak puas cukup nongkrong di perempatan di daerahnya, tapi merambah ke kota kabupaten yang ramai di malam hari. Pergaulan dan lingkungan telah membawa Sarjani semakin larut untuk mejeng, ngebut, ngerumpi, dan foya-foya. Bila dulu yang ia traktir cukup kawan sekolah dasar dan SMP, kini di samping kawan-kawan satu SMA, relasi pun bertambah luas, termasuk teman cewek turut nimbrung dalam bagian geng Sarjani. Hal itu tak jadi soal, karena orangtua Sarjani adalah orang kaya. (bersambung)**

Galamedia, Senin, 9 Nopember 2009

Kisah Anak Grosir Kelontong(2)
Studi ke Luar Negeri

DEMI kesuksesan Sarjani, Haji Sueb, sang ayah, rela merogoh kocek lebih dalam. Selepas SMA, Sarjani pun terbang ke luar negeri, kuliah di Malaysia. Bagaimana kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

KULIAH. Satu kata yang memiliki gengsi di lingkungan di mana Sarjani tinggal. Apalagi ada embel-embel luar negerinya, sempurna. Ketika Sarjani hendak berangkat, Haji Sueb mengadakan syukuran. Tak tanggung-tanggung, ia mengundang penceramah kondang dan masyarakat sekitar. Acara pun makin meriah karena Haji Sueb juga memberi amplop berisi uang kepada masyarakat yang turut mendoakan kesuksesan anaknya.

Sarjani pun diantar kerabatnya hingga Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta saat itu. Dengan menggunakan Garuda Airways, Sarjani terbang menuju Kuala Lumpur. Haji Sueb turut mengantar dan menitipkan anaknya pada pengelola (semacam yayasan) di mana anaknya kuliah. Sarjani kini menjadi mahasiswa.

Tapi kondisi di negeri jiran amat berbeda dengan lingkungan di negeri sendiri. Itulah yang membuat Sarjani tidak kerasan. Sarjani selalu canda ria, gelak tawa, juga celoteh kawan-kawannya yang selalu menggoda. Tak heran baru sebulan, Sarjani telah bergegas pulang. Yang dituju bukan rumah Haji Sueb, tapi rumah Otas, kawannya, sebagai tempat tetirah. Baru setelah itu ia pulang ke rumahnya.

Atas rayuan Haji Sueb dan kerabatnya, Sarjani pun kembali ke negeri jiran. Haji Sueb menginginkan Sarjani menjadi sarjana lulusan luar negeri. Ia harus memperoleh kedudukan dan pangkat. Sarjani harus dapat dibanggakan sebagai penerus keluarga. Haji Sueb pun berkeyakinan bahwa anaknya akan meneruskan "dinasti"-nya di kampungnya menjadi orang terhormat.

Namun apa lacur, ternyata untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Manusia hanya bisa berkeinginan dan berusaha, Tuhan jualah yang menentukan. Sarjani ternyata minggat dari Malaysia. Meski didukung kiriman finansial yang memadai, ia tetap tidak betah. Semakin ditahan, keinginan pulang kampung semakin menggebu. Hati Sarjani pun berontak.

Untuk menghindari rasa malu dan cemoohan tetangga, Sarjani sengaja tinggal di rumah Otas. Sekitar 13 km dari rumahnya, terhalang dua desa. Untuk memenuhi kebutuhan makan, rokok atau uang sehari-hari, ia menyuruh Otas sebagai kurir untuk meminta kiriman uang pada orangtuanya. Apa dikata, sebagai orangtua, Haji Sueb tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya ia pasrah memenuhi keinginan anak semata wayang yang amat dicintainya itu. (bersambung)**

Galamedia, Selasa, 10 Nopember 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (3)

Bisnis Sarjani Gagal


SEPULANG dari negeri jiran, Sarjani kepincut mojang Bandung, Hani (bukan nama asli). Akhirnya mereka menikah. Sarjani lalu mencoba beternak sapi perah. Bagaimana kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

PERTEMUAN Sarjani dengan Hani terjadi secara tak sengaja. Saat itu Hani tengah menunggu angkot dengan duduk-duduk di pujasera. Kebetulan Sarjani dan Otas tengah menunggu Herman, janjian di pujasera. Hani saat itu hendak bersilaturahmi pada bibinya di daerah pantura. Pertemuan itu berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Mereka pun akhirnya sepakat menikah.

Kab. Bandung bagian selatan, tempat tinggal Hani, memiliki topografi berbukit-bukit. Wilayah itu dikenal dengan kebun tehnya, juga kina, sayuran, dan sapi perah. Potensi itu rupanya ditangkap Sarjani. Ia berniat mengembangkan budi daya sapi perah. Dengan merayu Haji Sueb, dana pun cair. Haji Sueb menjual satu rumah dan sebagian sawahnya untuk usaha susu ini.

Jadilah Sarjani bos sapi perah. Ia membeli lima ekor sapi induk. Saat itu harga satu ekornya mencapai Rp 12 juta. Dana yang dihabiskannya untuk membeli peralatan dan pembuatan kandang tak kurang dari Rp 80 juta. Usaha produksi susu pun siap dijalankan. Sarjani mengerjakan dua orang karyawan untuk menyabit dan mencacah rumput, juga membersihkan kandang dan memerah sapi.

Tapi bisnis sapi perah Sarjani ternyata merugi. Harga susu amat fluktuatif. Bila produksi susu melimpah, sering ditolak koperasi dan dibuang percuma. Hal lainnya, Sarjani tidak mudah kerasan. Ia sering bolak-balik ke rumah orangtuanya. Kebiasaannya berkumpul dengan teman-temannya pun tidak berubah. Selain itu, meski telah menikah, Sarjani lebih menomorsatukan Otas, Herman, dan lain-lainnya yang sering juga bertandang ke tempat tinggalnya. Tatkala mereka datang, Sarjani asyik berkelakar ditemani kopi hangat, rokok, dan aneka makanan hingga melupakan statusnya yang telah berkeluarga. Belum lagi iringan musik dangdut yang diputar keras. Semakin membuatnya lupa waktu.

Hani sendiri sebenarnya istri yang tabah. Dengan telaten dan sabar, ia mendampingi suami yang temperamental alias mudah marah dan tersinggung. Ternyata baru diketahuinya Sarjani bermental tempe, tidak mandiri, dan mudah dipengaruhi kroco-kroconya. Tipe suami pemuja masa lalu. Sarjani pun semakin egois. Kesabaran Hani pun mencapai batasnya. Tangan Sarjani kerap melayang kala terjadi pertengkaran. Riak-riak rumah tangga itu pun terakumulasi, berubah menjadi gelombang prahara. Membuat biduk yang rapuh hancur berkeping. Kurang dari setahun berumah tangga, mereka bercerai. Sarjani melego sapi-sapinya asal jadi uang dan meninggalkan kampung tersebut.

Sementar di kampungnya sendiri, Sarjani tertipu mentah-mentah oleh proyek investasi saham yang ternyata fiktif. Puluhan juta uang penjualan sawah orangtuanya melayang sia-sia. (bersambung)**



Galamedia, Rabu, 11 Nopember 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (4)

Preman Pilihan Terakhir Sarjani


SARJANI berkali-kali gagal. Studi, bisnis, dan cintanya kandas sudah. Rasa malu terhadap warga di sekelilingnya membuat Sarjani nekat. Bersama Bomer, ia hijrah ke Ibu Kota. Bagaimana kisah selanjutnya, Dadan Wahyudin mengisahkannya.

BOMER adalah kawan Sarjani di SMP. Ia sudah sepuluh tahun mengadu nasib di bilangan Tanah Abang. Ketika Bomer mudik, ia bertemu Sarjani. Gayung pun bersambut. Awalnya Bomer menawarkan Sarjani untuk bekerja. Ternyata, kerja menjadi preman di daerah Tanah Abang. Kegalauan, frustrasi, dan kegagalan berkali-kali membuat Sarjani memilih ajakan ini.

Dunia premanisme amat akrab dengan kekerasan dan hukum rimba untuk menentukan siapa pemenang dan pecundang dalam berebut kekuasaan. Ini menjadi sisi menarik bagi Sarjani. Ia telah tercampak dari kehidupan normal. Sarjani pun segera menanggalkan seberkas nilai-nilai kehidupan yang masih bersemayam pada dirinya yang diperoleh Sarjani sejak kecil. Ia berubah drastis menjadi sosok tak mengenal belas kasihan, bebal, dan rakus.

Satu hal membedakan Sarjani dengan gengnya, bila preman lain dilahirkan oleh lingkungan ekstrem sehingga beradaptasi keterbatasan dan kekurangan untuk survive. Sarjani tidak, ia dibesarkan materi berkecukupan dan sifat manja. Ini kelemahan Sarjani, tidak bisa menjadi "preman sejati". Sarjani cuma keras manakala menggertak kedua orangtuanya agar memenuhi apa yang diinginkannya. Sarjani tidak bisa kompromi dengan urusan perut.

Sementara usia Haji Sueb semakin sepuh. Satu per satu harta milikinya dijual untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan Sarjani. Usaha Haji Sueb ahir-ahir ini amat terpukul, setelah terbakarnya pasar lama. Ia menempati petak di kios sementara. Lokasi yang jauh dari pusat keramaian, membuat konsumen ogah datang. Sementara pengeluaran Haji Sueb kian menjadi-jadi. Hampir setiap bulan sekali, Sarjani meminta "jatah" hidup di Jakarta. Kalau tidak diberi, Sarjani mengancam, baik dengan ucapan maupun fisik. Dengan ketus, Sarjani pun menguras barang-barang Haji Sueb untuk dilego menjadi uang segera.

Suatu hari, Sarjani ditemani keroconya, belingsutan seperti tengah mencari seseorang. Matanya menengok ke kiri dan kanan, mulutnya bau alkohol menyengat, dan mukanya merah padam. Sebilah golok terhunus di tangan kanannya.

"Mana Haji Sueb dan istrinya? Sembunyi di mana? Saya hanya minta jatah bulan ini, tidak lebih dua juta," kata Sarjani. Warga sekitar gemetar ketakutan dan memilih bersembunyi.

"Kalau ketemu, saya bunuh si tua bangka itu!" kata Sarjani bertolak pinggang sembari mengacung-acungkan golok terhunus.

Untungnya Haji Sueb dan istrinya disembunyikan pengurus RW setempat sebelumnya. Sarjani tidak berhasil menemukannya. Ia benar-benar telah menjadi anak durhaka. (bersambung)**

Galamedia,
Kamis, 12 November 2009
Kisah Anak Grosir Kelontongan (5)

Mencari Kedua Orangtua

MINGGU pagi, tidak seperti biasanya, Haji Sueb bergegas menemui Pak RT. Ada pesan khusus yang disampaikannya pada Pak RT. Apa dan bagaimana, Dadan wahyudin mengisahkannya.

TERNYATA pesan itu adalah pesan terakhir Haji Sueb dan istrinya yang menyatakan, rumah yang sudah dihuninya selama bertahun-tahun, ternyata sudah dijual untuk membereskan utang pribadi dan anaknya. Itu adalah properti terakhir yang dimiliki Haji Sueb, setelah jongko dan properti lainnya turut terkuras dijual sebelumnya. Sementara perkakas di dalamnya tidak dijual dan Haji Sueb memberikannya kepada warga yang mau atau bisa dimanfaatkan sebagai inventaris RT.

Dengan menjinjing dua tas plastik hitam, Haji Sueb dan istrinya melangkah menuju stasiun. Entah ke mana kereta api akan membawanya. Tidak ada yang tahu. Yang terasa amat berat, mereka harus meninggalkan tempat yang telah ditinggalinya sejak menikah dulu. Tempat mereka sama-sama berjuang membangun pilar keluarga, meletakkan sendi-sendi kehidupan, sapait-samamanis, membangun hunian, merintis usaha, dan membesarkan anak semata wayang. Anak semata wayang yang dikasihi dan dibela serta dimanja itu, kini berubah menjadi sumber kehancuran. Haji Sueb harus kembali lagi ke titik awal, tanpa properti, tanpa anak, dan tanpa arah yang dituju.

Betapa segala sesuatu di dunia tidak kekal. Istri, anak, dan harta hanyalah ladang amal bagi manusia untuk mendapatkan pahala berlipat. Anak bisa menjadi sumber pahala manakala kedua orangtua meninggal, tetapi dapat juga menjadi fitnah pembawa kerusakan. Begitu pun jariah berupa harta, bisa menjadi harta yang hakiki jika bisa terus ditimba pahalanya. Maka rugilah bila harta kita habis sebelum sempat beramal jariah.

Menurut warga, sebulan setelah kejadian itu, seperti biasa Sarjani menagih "jatah" kepada orangtuanya. Namun alangkah kagetnya ia saat mendapati rumahnya telah kosong dan dijual. Wajahnya mendadak pucat. Saat menanyakan alamat orangtuanya yang baru, tak seorang warga pun bisa menjawab. Begitu juga para kerabat yang dijumpai, tak ada satu pun yang tahu ke mana Haji Sueb pergi. Sarjani hanya bisa pulang dengan langkah gontai, hampa dan kosong.

Dua tahun setelah kejadian itu, Sarjani dikabarkan sakit. Tubuhnya terkulai lemah. Badannya kurus kering. Bibirnya tak kuasa mengucapkan kalimat sempurna. Ia hanya memeluk erat foto kedua orangtuanya dengan kerinduan yang amat sangat. Bibirnya hanya bergumam lirih menyebut kata ayah dan ibu. Beberapa orang terdekatnya, tergerak mencari keberadaan orangtua Sarjani, tetapi hasilnya nihil. Mereka mendatangi kampung asal ayahnya, tetapi kerabat di sana mengatakan tak pernah bertemu Haji Sueb dalam tiga tahun terakhir. Begitu juga saat dicari ke kampung ibunya, hasilnya sama. Mereka tak pernah menjumpainya selama tiga tahun. Begitu pun tempat-tempat yang diperkirakan akan disinggahi Haji Sueb dan istrinya, tidak memberikan petunjuk. Sampai Sarjani meninggal, kedua orangtuanya tidak diketahui rimbanya. (tamat)**

Sumber : http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?idkolom=kisah&wartakode=20091108144741

Tidak ada komentar:

Posting Komentar