Rabu, 26 Mei 2010

Kenangan Diksar Kie W (BAGIAN 1, 1-7): KIsah Satu Stel PDL

dimuat di rubrik Kisah Galamedia, 30 Januari s.d. 8 Februari 2011

Segalanya Serbagelap dan Serbamendadak(1)

oleh: Dadan Wahyudin

Yang kucemaskan dalam pendidikan dasar ini bukan beratnya latihan, tapi aku hanya membawa satu stel seragam untuk satu bulan penuh. Penderitaanku makin menjadi, seragam PDL yang kukenakan kekecilan membuatku tidak nyaman bergerak. Bagaimana menyelesaikan diksar itu, Dadan Wahyudin mengisahkannya.


Tahun 1994 aku mendaftar menjadi calon Anggota Menwa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Saat itu danyon II dijabat oleh Mas Har, panggilan bagi Pak Sri Suharyono dan Wadayon Bu Yudhicara. Aku tergolong telat, karena sudah tingkat tiga bersama Makbul, Mustopa, dan Nono Carsono. Setelah lolos seleksi administrasi dan kesehatan, aku pun menempuh uji kebugaran dengan tes lari, sit-up, push-up, scout-jump dan pull-up di lapangan Gasibu. Tes selanjutnya adalah wawancara (screening) hingga Pantuhir.

Saat itu hajatan Kompi U sebagai Kolat. Sebagai Danlat, Pak Merjames Pakpahan, senior alumnus Suskapin yang baru pulang dengan predikat terbaik di angkatannya. Wadanlat, Pak Ristadi WK. Sebagai Danki, Pak Nurbiyantoni dan Bu Ratih Ambarwati Rahayu. Dantonlat, Antonius Ferry dan Lidya Ericka Cinderella Goeltom dari Kompi V. Kasioplat, Alzamri Mawardi. Dantimjas, Pak Teguh Setiawan. Pak Aos Rifatullah, Bu Ambarwati Retno Dewi, tak ketinggalan Pak Handiyono KS dan Pak Marwoto sebagai Polman.Dari Kompi T seperti Pak Iman Soleh, Pa Rexy Alfian, Pak Wawan, Pak Marlon S, Mbak Ipoet, "turut membelai" pipi kami. Dari kompi muda ada Pak Johan, Pak Arief dan Pak Khairul Akbar jadi provost. Belum lagi senior bertampang rangers sejati bikin ciut nyali, seperti: Bang Riyokora, Bang Taufik Bafff, Mas Gimbond, Om Coki, wah banyak nian....



Sebelum dikirim Depo Pendidikan (Dodik) milik Rindam Siliwangi, biasanya siswa (sebutan bagi peserta diksar) mengikuti acara pengkondisian di kampus sendiri disebut pra-diksar. Pra-diksar ini dilakukan oleh para senior di kampusku. Selama lima hari aku dan dua belas kawanku dari berbagai fakultas mengikuti kegiatan mulai materi kelas, cara baris, hingga pembayatan menyusuri selokan kotor berbau di Sekeloa, masuk gorong-gorong hingga merayap di trotoar jalan Siliwangi. Kegiatan ini untuk mengkondisikan siswa agar mudah beradaptasi.

Kegiatan diksar Menwa berbeda dengan Ospek mahasiswa. Dalam Ospek, tugas-tugas biasanya merupakan hal sengaja dibuat alias diada-adakan agar para peserta ospek sulit mendapatkannya dan berbuah sanksi. Cara ini dibuat bertujuan agar mereka bahu-membahu mewujudkan tugas-tugas itu sehingga terjalin ikatan emosi yang tinggi menjadi kompak. Dalam ospek, aku suka menganggap enteng tugas-tugas itu, karena aku siap dengan risikonya. Paling-paling setiap kesalahan kita dapat ditebus dengan hukuman seperti push-up atau tugas tertentu. Lunas!

Tapi dalam diksar Menwa berbeda, karena tugas-tugas itu berguna bagi diri sendiri. Ketika Pak Fery, Danton memberikan tugas-tugas tentang hal harus dipersiapkan, aku tenang-tenang saja. Toh, dalam benakku, kalau mau pemberangkatan ke Dodik, senior pasti memberi tahu kami. Soalnya, siapa yang mau juniornya bermasalah di Dodik nanti. Tentu membuat malu korps.

Keduanya, acara pra-diksar dimulai sejak pagi buta hingga pukul sepuluh malam. Jadi tidak sempat membeli, mencari atau meminjam peralatan dalam waktu yang sempit. Belum lagi rasa lelah setelah olah fisik seharian amat letih. Tak pelak, senior pun kerap menghukumku. Tamparan dan hukuman fisik sering kudapatkan. Tapi salahku sendiri, terlalu menggampangkan terhadap tugas-tugas seniorku. Tentang peralatan diksar, pikirku, pastilah dikasih waktu untuk melengkapi.

Ternyata dugaanku salah besar. Aku kena batunya. Gelegar bunyi petasan di belakangku saat apel pelepasan di Posko membuatku tersontak. Lebih kaget lagi sore itu siswa siap diberangkatkan ke Skomenwa Jabar untuk dikirim ke Dodik selama satu bulan penuh. Alamak!!! Saya hanya bawa satu stel seragam PDL, kaos, plus celana dalam (CD) yang dikenakan hari itu. Untuk CD, Beni kawanku berbaik hati memberiku, ia memiliki 5 buah stok CD baru.

Celakanya, seragam PDL cuma satu stel. Itupun kecil dan ketat tak nyaman dipakai. Sebenarnya, saya sudah beli seragam tapi sedang dijemur karena basah bekas latihan kemarin. Tempat kosku cukup jauh di Ujungberung.

Dalam keadaan galau itulah, tiba-tiba Dantonlat langsung memimpin pasukan berlari menuju Skomenwa. Tiba di Skomenwa, ternyata telah berkumpul calon-calon menwa dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa Barat.

Hari itu, aku tak menyangka sedikitpun bakal diberangkatkan? Ke belantara mana, aku tidak tahu? Semuanya serba gelap. Yang amat mencemaskan bagiku, hari-hari panjang bakal kulalui bukan saja beratnya tempaan fisik dan mental, tapi aku berjuang dengan pakaianku. Ini karena semua serba mendadak. Coba kalau sebelumnya aku tahu, baju basah di rumah akan kubawa.

Dibandingkan rekanku Olive dan Adeng, aku lebih beruntung. Kedua rekanku, ikut diksar dengan persiapan minim. Kalau dia membuat cerita seperti ini, rasanya bakal lebih mengiris dari sisi penjiwaan lebih trenyuh dan nestapa. (bersambung)**


JADI GEMBUL MAKAN (2)

Truk TNI menuju jalan Setiabudi – Ledeng. Hatiku gembira. Pikirku, paling Dodik Cikole atau Pusdikajen – Lembang. Daerah itu wilayahku. Aku lahir di Subang dan besar di Lembang. Bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


Sebelumnya aku membayangkan bakal dibawa ke Secatam Pangalengan atau Pusdikpassus Batujajar. Tempat itu asing bagiku. Dalam benakku, kawah candradimuka di Secatam dan Batujajar pelatihnya pasti galak-galak.

Ternyata sopir truk membawa siswa ke Dodik Cikole. Begitu tiba, siswa langsung mendapat jatah senjata jenis SP berikut magazen dan helm baja. Hari sudah gelap. Malam itu pula, siswa gladi untuk acara pembukaan esok pagi.



Kira-kira jam tiga pagi, siswa sudah dibangunkan untuk mengikuti jas pagi (olahraga) dan senam senjata. Bagi siswa laki-laki dilakukan secara telanjang dada. Hemmh, suhu Cikole amat dingin menusuk tulang. Nafas kami pun mengeluarkan embun. Tapi suhu tubuh menjadi hangat dengan olah gerak itu.

Kami mandi di bak massal khusus laki-laki. Awalnya sih malu-malu, tapi ketika banyak siswa lain mandi, rasa malu itu kubuang jauh-jauh. Waktu yang terbatas dan kondisi yang ada membuat aku mencoba menikmatinya. Aku pun mandi bareng. Weleh-weleh.....

Setelah salat subuh, tibalah saatnya sarapan pagi. Siswa mengantri ransum. Petugas ransum dengan sabar melayani siswa hingga nomor urut terakhir. Aku dapat satu centong nasi, sayur satu sinduk, dan tempe satu potong.

Makan kali pertama sungguh tidak bernafsu. Aku tidak berselera. Mungkin masih asing dengan lingkungan kesatrian lembaga militer amat kaku. Lapangan luas, tiang untuk pull-up, menara untuk meluncur dan latihan turun tebing, kolam besar, seakan mengucapkan selamat bergabung dengan Dodik. Untuk apa semua fasilitas itu, kalau tidak untuk “menyiksa” kami?

Rutinitas kegiatan di Dodik akhirnya menjadi nafas keseharianku. Sebelum subuh, siswa selalu jas pagi, salat subuh, mandi dan mencuci, makan dan apel pagi, materi kelas, apel dan makan siang, materi kelas, makan sore, materi kelas, apel malam. Rasa kantuk pada materi kelas tak terhindarkan. Dua penyakit melanda siswa, yaitu ngantuk dan lapar.

Tetapi menu makan amat membosankan. Itu-itu juga. Nasi, sayur, asin. Nasi, sayur, tahu. Kalau siang ada sepotong daging atau ikan. Buahnya hanya ada saat makan siang, berupa pisang muli kadang jeruk. Itu thok. Benar-benar membosankan. Kontras dengan situasi di depan kesatrian, berdiri megah Rumah Makan Sindangreret seolah menyapa ramah padaku. Batinku bergumam, hemmh nikmatnya ayam goreng, lotek, jus atau roti bakar... Tetapi apa daya, siswa tidak boleh membawa uang. Semua itu diperiksa ketat sejak di kampus. Naluri mencicipi aneka hidangan hanya terbenam dalam jiwaku paling dalam. Kalau beres diksar, kubalas semua ini ...

Fisik siswa memang dibentuk. Di punggung, siswa pun menenteng beban berupa ransel berisi pasir sekitar 4 kg. Begitu pun di depan, membawa senjata SP seberat 4,2 kg. Belum lagi helm baja. Perut pun dipress oleh kopel. Dan badan dibuat tegap oleh sepatu laras. Sorot mata pun tajam dan berwibawa. Hemh, persis seorang Rangersss !!

Latihan fisik benar-benar menguras energi. Asupan energi berbuah tenaga. Bahkan Olive, kawanku selama dua minggu tidak pernah buang hajat. Aku juga heran, betapa makanan dia dikonservsi sempurna jadi tenaga, dengan residu nol. Selama latihan, meskipun bertelanjang dada di pagi buta, berlari saat gerimis, atau mengenakan baju basah, tidak pernah diserang sakit.

Begitu pula dengan porsi makan. Bila awalnya, makan kurang bernafsu, di minggu kedua, siswa mulai gembul. Karena tidak ada lagi makanan lain, apa boleh buat, ya nasi pun jadi sasaran. Acara makan pun menjadi momen yang amat ditunggu-tunggu. Mengasyikan..... Nasi satu bakul pun ludes dilumat siswa.

Tapi untuk mendapatkan jatah makan harus rela jungkir balik, merayap, push-up, dan lain-lain. Hemmh, betapa tidak gratis semua itu! (bersambung)**

JULUKAN KHAS KAWANKU (3)

KEBERSAMAAN satu bulan membuat karakter masing-masing bisa diselami. Ada yang jago makan, raja tidur, ahli ngerembes, atau siswa korpe. Dadan Wahyudin mengisahkan.


Kalau soal menghabiskan makanan, aku jagonya. Jika nasi kawanku tidak habis, luput dari pandangan pelatih atau senior, aku secepat kilat mengambil nasi punya kawanku. Aku “berbuat kebajikan”, kalau bersisa, kawanku sudah jelas pasti dia mendapat sanksi. Bagiku, makanan dalam situasi seperti itu amat berharga. Jangan pernah membuang satu remeh pun.



Ada hal unik tentang acara makan ini. Biasanya waktu makan dihitung sampai angka sepuluh oleh senior. Celakanya, menu tanpa sayur berbuah petaka alias seret. Akhirnya kukucurkan air pelpes mengganti air sayur, ternyata tokcer deh. Karena siswa lain banyak yang tidak habis, siswa pun disuruh berdiri kemudian berjalan mengitari piring dan berhenti. Makanan yang di hadapan itulah milik siswa yang berada di depannya untuk dihabiskan. Olalala, aku dapat piring yang masih utuh.
Nasib bagus!! Ada kawanku belum sempat makan dalam hitungan sepuluh tadi, setelah diputar kecele mendapatkan piring kosong. Hemmh, kualat dia!!!

Ada lagi raja tidur. Kawanku bernama Yanda. Ketika ia tidur, amat pulas. Susah sekali bangun membuat seluruh penghuni barak suka menerima hukuman, gara-garanya. Saat ada pendadakan (alarm stealing) tengah malam, seluruh kesatrian gelap gulita. Bunyi petasan dan senapan tar ter tor saling sambung-menyambung. Acara pendadakan diasumsikan markas digempur musuh. Pasukan yang tinggal di barak harus siap siaga di tempat yang telah ditentukan dengan seragam dan peralatan lengkap termasuk senjata.
Ketika siswa lain sibuk mempersiapkan segalanya, Yanda masih tertidur. Ketika siswa lain berhamburan menuju posisi masing-masing, Yanda sontak terbangun. Dalam keadaan panik, ia pun membawa selimut dan bantal keluar sambil tak henti berujar: Siap...siap...Siap. Kondisi diksar membawa ke alam bawah sadarnya, dan ia sering terjaga seolah suasana masih diksar.


Akhirnya, kesatrian pun terang kembali. Pelatih mengecek siswa berdasarkan nomor urut di tempat telah ditentukan sebelumnya. Ternyata, banyak yang tidak lengkap. Ada yang pake seragam terbalik. Ada sepatunya tertukar. Ada pula senjata ketinggalan. Lucunya, ketika pasukan dibariskan, Yanda membawa bantal dan selimut. Ada-ada saja.

“Bagi yang tidak lengkap, kalian kami anggap mati atau ditawan musuh!” kata pelatih saat siswa dibariskan dan melanjutkan, “Bagi siswa lengkap, selamat meneruskan tidur dengan mimpi indah. Bagi yang tidak lengkap, kami akan memberi hadiah....” Hadiah? Ya, hadiah berendam di kolam, merayap dan jungkir-balik di tengah malam itu.



Ada lagi kawan suka ngerembes atau gerilya (diam-diam jajan ke warung). Itulah Andi. Andi licin mirip belut. Ia berani keluar kesatrian hanya untuk membeli 5 buah permen. Permen amat berharga sebagai penawar rasa. Andi suka disuruh kawan lain yang masih memiliki uang. Uang itu biasanya disembunyikan di lipatan baju atau ransel atau dalam popor senjata. Sepanjang kutahu, Andi tak pernah tertangkap. Kalau tertawan, berendam di kolam sebatas dada adalah imbalannya.

Lain lagi dengan Nono. Setiap hendak mandi sore, ia suka membawa roti entah dari mana, yang jelas langsung bersembunyi di kamar mandi. Siswa lain pun selalu menunggu Nono dan memburunya hingga ke kamar mandi. Roti satu pun menjadi rebutan kawan-kawan. Nikmat nian, secuir roti di kamar mandi....

Bagi Beni, korpe di kamar mandi lebih mengasyikan ketimbang ikut apel pagi. Meskipun di rumahnya belum tentu serajin itu, tapi pada diksar Beni selalu menawarkan diri sebagai relawan untuk membersihkan kamar mandi dan WC barak setiap pagi. Tentu Beni berkalkulasi cermat, korpe lebih menguntungkan dibanding ikut apel pagi yang selalu disertai pengkondisian fisik. Daripada harus push up, pull up atau skot jump lebih baik gosok lantai dan dinding bak. Gosok-gosok teruuuussss.... Beni pun dijuluki siswa korpe. Kalau Dewi dan Eka, aku lupa? (bersambung)


MELIHAT HANTU JADI-JADIAN (4)

Ada lagi kawanku bernama, Adeng. Saat caraka malam, Adeng ketakutan melihat hantu! Ia jatuh pinsan. Pengalaman buruk ini menerpa mentalnya sehingga menjadi sosok pemurung. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.


Seorang rangers dididik berani, cerdas, dan teguh pendirian. Ini diuji dalam acara “caraka malam”. Dalam kegiatan ini, para siswa diibaratkan seorang kurir. Kurir diperlukan untuk membawa pesan manakala pasukan telah dikepung musuh. Begitu alat komunikasi telah disadap musuh. Kurir ditugaskan membawa pesan mengenai strategi, posisi, atau memohon bantuan. Pesan harus diingat bukan ditulis, kalau ditulis bisa direbut musuh. Pesan itu disampaikan pada atasannya atau orang berhak menerima dengan menyebut sandi terlebih dahulu. Seorang kurir harus teguh dan dipercaya. Karena berhubungan dengan keselamatan dan rahasia berupa data tentang pasukan sendiri.

Dalam kegiatan caraka ini, wajah siswa disamar menggunakan norit. Tangan dan wajahnya hitam legam. Selain itu tubuh kita dilumuri terasi. Aromanya cukup bau segak. Sepintas mirip bayangan setan di waktu malam di mana yang tampak hanya sorot matanya saja. Terasi dipakai mungkin untuk mengusir nyamuk atau binatang lain seperti ular.

Dalam membawa pesan ini, siswa harus berjalan seorang diri dibekali sebatang lilin. Jalan yang dilalui jalan setapak naik turun, melewati semak-belukar bahkan melewati kuburan sunyi. Situasi dibuat mencekam dan menakutkan. Untuk mengaburkan daya ingat pembawa isi pesan, para pelatih berusaha mengganggu perjalanan seorang kurir. Selain itu, dibuat tiruan bunyi-bunyian beraroma magis untuk menakuti-nakuti siswa.

Pesan yang dibawa ada yang pendek atau panjang sampai 5 kalimat. Oleh karena itu seorang kurir harus cerdas. Pesan itu harus disampaikan tidak boleh salah titik komanya. Apalagi bertalian dengan data. Di samping tidak mudah menyerah mempertahankan pesan. Jika sampai jatuh ke tangan musuh bisa fatal.

Saat melewati makam, terdengar suara cekikikan dan gelantungan sosok putih mengagetkan Adeng. Jangankan isi pesan, fisik Adeng pun terkulai roboh. Ia pun digotong ke pos terdekat. Suhu tubuh Adeng mendadak panas. Berkali-kali mengigau. Para senior pun mengurus kondisi Adeng. Selama dua hari Adeng beristirahat di Posko Kesehatan.

Hari berikutnya Adeng aktif kembali. Namun ia terlihat murung. Ia belum pulih benar. Sehari-harinya jadi sering menerawang. Seperti memendam sesuatu amat traumatis. Ia tak seceria kawan lain. Tampaknya secara psikis, mental Adeng telah jatuh.

Aku sih sama sekali tidak takut. Aku pernah mengalami hal ini saat latihan di Pramuka. Penjelajahan melewati kuburan, tempat sunyi dan angker adalah hal biasa. Pernah aku dulu mencari bendera di sebuah makam di keheningan malam berbalut bergerimis di sekolahku.

Kalau soal hantu jadi-jadian, aku sendiri pernah membuatnya dari potongan bambu dibalut kain putih, lalu dikaitkan pada pohon tinggi. Dengan cara menarik-ulur tambang, hantu jadi-jadian efektif untuk menguji nyali anggota mudaku. Agar lebih seram, dibumbui suara rintihan atau jeritan perempuan yang direkam di tape recorder. Sempurna deh.

Yang aku takutkan hanyalah anjing milik penduduk banyak berkeliaran. Gonggongan anjing itu mendebarkan hatiku. Ketakutan itu sering merefleksan kakiku untuk mengajak berlari. Tetapi berlari ketika anjing menggonggong adalah tindakan bodoh. Itu hanya memancing anjing beralih mengejar kita. Kalau beradu lari, aku pasti kalah. (bersambung)**

BLACKFOREST DAN BONGGOL PISANG(5)

Tiga minggu di Dodik, aku mendapat kiriman baju PDL siswa dan kue blackforest dari kakakku. Bak anugrah dari langit, aku gembira tiada tara. Secercah kebahagiaan akan mengurangi penderitaanku. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.

Untuk mendapatkan bingkisan PDL dan kue itu harus ditebus dengan tebusan fisik. Aku push-up, sit-up dan scout-jump masing-masing 15 kali. Langsung kuciumi baju itu. Mataku berkaca-kaca. Bukan apa-apa, seragam itu aku beli di Jatayu dan memang cocok dengan ukuranku. Selama ini aku menderita oleh baju ketat.

Sementara urusan oleh-oleh berupa kue blackforest, terpaksa harus menahan nafas. Kata senior, nanti akan diberikan setelah apel barak alias jam 10 malam sehabis materi kelas. Aku pun mencermati setiap detik demi detik merenda menit dan menyulam waktu menanti malam. Materi kelas dibawakan guru militer kulalui dengan tanpa konsentrasi. Karena pikiranku terbawa oleh aroma blackforest tanda mata kakakku tercinta.

Materi kelas malam pun selesai. Kami melakukan apel malam sekaligus apel barak. Seluruh siswa dibariskan di samping tempat tidur. Lalu menghadap ke pintu barak dan disuruh masuk kolong ranjang dari pintu depan ke ujung pintu belakang satu persatu. Benar-benar menyiksa. Hampir 50 meter panjang barak itu dilalui siswa dengan cara merayap melalui kolong ranjang sebanyak 45 buah. Aku lakukan selama tiga kali putaran. Sialan!

Nafasku naik-turun. Belum juga aku tenang, tiba-tiba senior memanggil namaku ke depan. Inilah momen kutunggu-tunggu. Menikmati kiriman kesukaanku. Akan tetapi kecele. Senior meminta persetujuanku atas nama jiwa-korsa, kue itu harus dicicipi dan dinikmati oleh seluruh siswa berjumlah 175 orang. Gile? Gimana cara membaginya? Ya, akhirnya seorang demi seorang siswa di barakku mendapat secuil kue. Lumayan juga buat cuci mulut masam...

Pernah aku siasati staf Kolat. Dengan memohon izin mau membayar SPP, pikirku aku bakal bebas meninggalkan Dodik sesaat. Hari itu hari Jum'at. Staf Kolat memberiku izin sehabis salat Jum'at. Waah, betapa nikmatnya, aku mau makan dulu di kaki lima di Pasar Lembang atau minimal di rumah kakakku di Lembang.

Pas jam J, eh si Mang Yono, sebagai polman ikut mendampingiku. Semua rencanaku gagal total. Aku diantar naik angdes Lembang - Cikole, naik ojeg ke BTN Pusdikajen. Ke rumah kakakku aku cuma titip pesan, bahwa titipa SPP nanti saja. Aku kembali lagi dengan hati kecele.

Ada satu kebanggaanku, Aku turut berkontribusi bagi kawan-kawanku. Saat itu sedang survival di Gunung Keramat selama 3 hari. Hari itu hari kedua, tampak Eka dan Beni sedang menyiapkan bonggol pisang hutan untuk dimasak. Mereka ingin mempraktikan teori survival.

“Hai, apa yang kaumasak itu?” tanyaku heran.
“Bonggol pisang hutan dan pucuk daun paku!” jawab Eka sambil menyalakan parafin.
“Sakit perut nanti. Sudah, tunggu saja aku sebentar,” kataku sambil menghilang dibalik lebatnya gunung Karamat. Hasrat ingin membantu kawan-kawanku dilakukan, karena aku mengetahui situasi dan medan di sekitar itu. Pendeknya, aku tahu jalan balik.

Aku ditemani Adao, kawanku dari STKS asal Timor Timur. Aku melewati parit di tengah kebun teh untuk mengaburkan pandangan pelatih dan senior. Kalau tertangkap, risikonya jadi tawanan. Sesampai di jalan raya, aku memberhentikan mobil bak. Tiba-tiba ada sepeda motor Kapten Supar, sepertinya ke arah Subang. Aku merebahkan diri. Selamat!!

Setelah naik mobil bak yang kustop, tibalah di Ciater. Aku menyambangi penduduk dan memohon dengan sukarela. Dengan senang hati, sang empunya rumah membekaliku beras 3 gelas, ikan asin, dan mie instant. Saat melihat warung nasi, naluri makanku timbul. Kuberanikan diri, meski aku cuma pegang uang Rp. 1000.

“Pak. Uang saya cuma seribu rupiah. Saya mohon nasi cukup dengan tempe,” kataku. Aku pun makan dengan lahapnya. Begitu juga kawanku. Hemmh, baru kali ini aku menjumpai makanan warung. Kawanku mendapat titipan membeli roti 5 buah.
“Sudahlah, makan saja olehmu sebagian. Kalau ketangkap pelatih kita tidak rugi...” usulku.
“Ini sih pesanan kawanku.”, jawabnya .
“Ini darurat, kawan! Makan sebagian aja daripada dirampas...” kataku. Tapi ia tetap teguh menjaga amanatnya. Aku pun naik mobil tumpangan lagi, kali ini bus Seskoau TNI-AU dan berjalan langsam di tengah kebun teh sekitar Dayang Sumbi.

Di tengah kebun teh turun dan naik lagi menuju tempat survival. Lokasi itu dijaga ketat para senior dan pelatih. Aku selamat. Andai saja kawanku tertinggal di Ciater, wah dia susah kembali.

“Ini baru makanan sehat bukan bonggol pisang...!” kataku memberikan natura yang kuperoleh dari penduduk. Kawan-kawanku pun sumringah. Aku sendiri sudah kenyang makan di warung.

Itulah kisah heroik ngarembesku. (bersambung)

BAHAGIA YANG TAK SAMPAI (6)

Setelah materi kelas usai dilanjutkan latihan berganda di lapangan selama 5 hari. Kami berjalan kaki menuju Sagalaherang mendapatkan materi long march, survival, navigasi, latihan penyergapan bivak, senam BDM, dan lain-lain. Pelantikan semakin dekat. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.


Tampak Mus, Eka, Dewi saling menebar senyum di depan barak. Begitu Yanda, Makbul, Maria berbicang diselingi tertawa lepas. Tak terkecuali, hatiku riang gembira. Diksar di Dodik telah usai. Esok pagi di Stadion Siliwangi seluruh siswa bakal dilantik Pangdam Mayjen TNI Muzani Syukur saat itu menjadi seorang menwa. Acara hari itu tinggal gladi resik untuk upacara pelantikan esok pagi. Makan malam terakhir di Dodik terasa nyaman dan santai, karena tidak diburu-buru oleh hitungan senior lagi. Apalagi hiburan kawan-kawan dari ASTI cukup menghibur.

Jam enam pagi, lima truk TNI beriringan membawa siswa menuju Stadion Siliwangi di Jalan Lombok. Rombongan mendapat pengawalan dari provost menggunakan sepeda motor besar. Begitu tiba, siswa langsung berbaris di lapangan. Tampak para seniorku menyambut hangat. Aku bangga. Wajah-wajah kaku berubah menjadi cair. Saling menebar senyum dan ucapan selamat mengalir padaku dan kawan-kawan.

Tepat jam 10.00, seluruh peserta diksar dilantik menjadi anggota menwa dan berhak menggunakan baret ungu. Sungguh bangga dan bahagia. Akhirnya kami dinyatakan lulus. Kami saling mengucapkan selamat.

Namun, belum juga puas menumpahkan kesumringahan hati, tiba-tiba seniorku mengajak bergegas naik truk TNI. Ternyata kami dibawa ke kampus kami istirahat sebentar. Di sana, diberi nasi bungkus. Dan melakukan salat duhur.

Rasa kepenasaranku belum habis, Mengapa seniorku yang tadi mengumbar senyum tiba-tiba bermuka tegang dan hambar lagi? Ada apa gerangan? Belum rasa kepenasaranku terjawab, kami disuruh bergegas naik truk kembali.Tampak senior baru kulihat, Pa Sugiyo. Wajah masih asing bagi kami dan ditempa oleh alam ekstrim Timtim selama 2 bulan dan menenteng pistol FN seolah mengucapkan "selamat menikmati materi Timtim". Ada Pa Diki, veteran Timtim juga. Wahh, Kolat banyak banget.

"Pak Harto sakit keras...?" kata seorang kolat. Hatiku belingsutan. Kami hanya melongo. Maklum sebulan penuh kami puasa informasi baik koran, televisi atau telepon. Kami dikarantina habisss. Belum juga pulih kesadaran, tiba-tiba sopir truk militer menyalakan mesin mobilnya. Truk pun segera meluncur.

Kegembiraan yang tengah bersemi dan perlahan tumbuh, tiba-tiba layu dan terkulai. Seberkas kebahagiaan mulai terajut berangsur redup seketika berubah rasa gundah, frustasi, dan kecewa. Kawan-kawan lain memilih tidur. Tampaknya, persetan dengan semuanya, mereka sudah pasrah mau dibawa ke mana pun.

Menurut senior, kami baru memperoleh baret ungu alias sebagai menwa. Belum diterima di satuan batalyon. Untuk meraih brevet yon II harus melalui tahapan kegiatan Latihan Tradisi Korps (Lantraks) di bawah gemblengan para senior dan alumni. Wuaahh, mampus kami! Berapa lama lagi harus menjalani latihan?

TRUK TNI berputar di segitiga Lembang menuju arah Maribaya. Ternyata menuju daerah persiapan awal di Cibodas. Tiba di sana sudah sore, Dantonlat membawa kami berkejaran dengan waktu magrib, takut keburu malam untuk tiba di Batuloceng. Sebelumnya, daerah persiapan awal direncanakan di Pasanggrahan, daerah Wanayasa, Purwakarta. Lalu dilanjutkan kegiatan perahu karet LCR dan tidur kalong di Situ Lembang. Penjelajahan melalui Cireod dan Cikawari menuju Cibodas. Karena menjelang bulan puasa Ramadan, jadi rute Lantraks terpaksa dipangkas.



Perjalanan merebut brevet batalyon dimulai di Batuloceng, Suntenjaya. Kondisi sudah malam dibalut hujan rintik-rintik, diisi kegiatan caraka malam. Di sini, senior dengan "puas" memberi "pelajaran" bagi juniornya. Kelelahan abis, kami segera berkemah.

Belum juga mata ini terpejam sempurna, tiba-tiba di tengah malam buta, tembakan salvo membangunkan kami. Tak ayal, pendadakan malam (stealing) membuat tenda kami tercerabut. Menu "sarapan" jas malam kunikmati. Kami pun tidur kembali di bawah kelelahan amat sangat....

Paginya kegiatan diisi pembinaan teritorial dengan masyarakat sekitar. Kami dibekali secangkir beras untuk dimasak. Caranya nebeng ama penduduk. Inilah masa rehat paling nikmat. Saya memiliki sisa uang dilipatan seragam, kusuruh anak penduduk yang ayahnya kerja di toko meubeul daerah Cicadas - untuk beli roti ke warung. Kami makan kenyang. Sisanya ransum untuk di perjalanan.

Disusul latihan menembak di kawasan gunung Palasari dan HTF (How To Find) menempuh jarak 5 kilometer. Pa Marwoto telah siap dengan pistol FN terkokang. Katanya, untuk mempersiapkan diri jangan-jangan siswa berbalik arah, dan nekad menghabisi Kolat. Hemhh, serem juga, analisa mantan Danpolman ini.



Di perjalanan, kami mendapat materi teknik penyergapan bivaks (tenda) oleh Pa Aos. Dalam skenario, ada gerak-gerik gerombolan berposisi di hutan terdekat. Setelah diintai intensif dan cukup data, gerombolan disergap. Materi demi materi belum usai, ternyata perjalanan masih panjang. (bersambung).


INSIDEN DI SAAT PELANTIKAN (7)

Rupanya teknik penyergapan bivaks (tenda) merupakan materi untuk dipersiapkan pada acara demonstasi saat pelantikan siwa di kampus nanti. Secercah harapan pendidikan dasar akan berakhir tersirat dari latihan demo ini kian intensif. Bagaimana seterusnya? Dadan Wahyudin mengisahkan.

Beberapa kali penyergapan bivaks diperagakan oleh kami. Gerombolan di dalam bivaks tertangkap tangan dan sebagian tewas. Daerah pun aman kembali. Itulah skenario yang diberikan pada sesi materi di perjalanan. Setelah dikuasai, kami pun melakukan long march menuju Tahura Dago Pakar.

Kemudian dilanjutkan menuju kampus PAA - Unpad Dago. Di sini mengalami pendadakan (stealing) sekali lagi. Tak henti-hentinya senior dan alumni memperdayai kami. Saat itu selesai mengantri makan malam. Baru saja dua sendok, tiba-tiba rentetan suara peluru dan petasan amat mengagetkan. Sesuai prosedur harus segera bergegas mengambil posisi tiarap dan siaga.

Malam itu dikerjai habis-habisan. Setelah melalui pengkondisian fisik dan mental, kami dibawa ke aliran sungai Cikapundung. Di daerah sekitar Curug Dago itulah, tiba-tiba saja Bang Riyo membuat hati kami merasa nyaman. Belum pernah selama ini, senior berbicara dari hati ke hati. Bang Riyo mengingatkan niat awal kita menjadi mahawarman dengan bahasa yang menyentuh hati. Bang Riyo membuka kenangan saat mendaftar, seleksi, pradiksar, diksar hingga lantraks. Tak terasa, air mata kami jatuh terbawa aliran sungai Cikapundung menuju hilir. Kami dilantik sesuai tradisi senior.

Kami baru sadar, telah meninggalkan orang tua dan kawan-kawan lain cukup lama. Kami pun berpelukan, berjabat tangan, dan mengucapkan syukur tiada henti. Setelah salat subuh dan sarapan pagi, langsung bergegas menuju lapangan Teuku Umar, persis di samping Unpad. Di sini, diyakinkan kembali untuk acara demonstrasi penyergapan bivaks sekaligus menentukan tugas-tugas yang harus dipikul saat peragaan dilakukan.
“Siapa yang siap bertindak penembak SO!” tanya Pa Aos, penanggung jawab acara demo.
“Saya!” kata Olive mantap.

Mengagumkan, ternyata seremoni penutupan ini dihadiri orang tua yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Benar-benar rapi. Di samping itu undangan dari pihak kampus dan undangan lain dari lembaga sejawat. Kami dilantik Kasmenwa, Indra Bangsawan (IKIP).

Peragaan penyergapan bivaks didahului oleh regu pengintai. Setelah situasi kondusif, Makbul, komandan regu memberi isyarat untuk mengunci posisi bivaks. Dilanjutkan kontak tembak rentetan bunyi senjata. Kamia angkatan terakhir yang boleh membawa senjata ke kampus. Kami dibekali sepuluh butir peluru hampa. Aplaus hadirin pun membahana. Sebuah penyajian demonstrasi dikemas apik.

Olive menyalakan bubuk mesiu di dalam bivaks, tiba-tiba langsung tersungkur. Darah pun bersimbah keluar dari luka di lehernya. Penonton pun bertambah meriah. Aplaus pun membahana. Mereka mengira semua itu adalah bagian dari skenario.

Melihat gelagat tak beres, para senior segera mengevakuasi Olive dibawa ke sebuah mobil. Mobil langsung meluncur menuju RS Boromeus. Tepuk tangan tak henti-henti mengaplaus peragaan tersebut.



Ternyata, kejadian Olive terkena ledakan petasan di dalam bivaks adalah insiden di luar skenario. Saat mendapat tugas menyalakan bubuk mesiu, Olive terlambat menghindar. Tiga ledakan petasan besar tersimpan di dalam bivaks menghempaskan dirinya dan roboh seketika. Acara yang seharusnya berakhir dan sukses, harus ada injury-time menunggui Olive di rumah sakit. Wajah-wajah letih juga tampak dari para senior. Tanggung jawab senior dibuktikan rela menggadaikan waktu istirahat mereka dengan telaten menunggui Olive. Beruntung, seluruh siswa diasuransikan sehingga pembiayaan Olive ditanggung pihak asuransi. Olive telah menjadi sosok fenomenal.

Sepasang seragam PDL lusuh menjadi saksi bisu telah mengantarkanku menjadi anggota menwa dan menyimpan beribu kenangan. Kini tergantung rapi di sudut kamarku. (Bersambung ke: KOMPI W DALAM SEJARAH YON II/UNPAD: KLIK LINK di SAMPING Kanan Postingan ini) :



Penulis, Dadan Wahyudin, jurnalis Kie W, tulisan dengan setting tahun 1994-1997