Rabu, 06 Januari 2010

Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1-5)



Keluarga H. Handi Junaedi
dimuat Galamedia 6-10 Agustus 2009


Mengubah Nasib dengan Pendidikan (1)
Galamedia, Kamis 06 Agustus 2009

Anakku, Jangan Mengasong di Kereta Api!

KISAH Pak H. Handi Junaedi, seorang pemangkas rambut tradisional ini, cukup inspiratif. Khususnya perjuangannya dalam memberi pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam keterbatasan finansial, ia berhasil menyekolahkan 8 anaknya tanpa putus sehingga lahir beberapa orang doktor, lulusan magister, juga sarjana. Hampir semua keluarga anaknya bisa menunaikan ibadah haji, termasuk dirinya dan istri. Apa dan bagaimana kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


PENDIDIKAN adalah barang mahal di kampungku. Kebiasaan di lingkunganku, hampir semua anak sebayaku menjadi pedagang erteh sejak SD. Erteh ini singkatan dari air teh yang diberi gula mirip teh botolan. Tak heran ketika bel sekolah berbunyi, hampir semua anak berlarian mengambil barang dagangannya, yaitu erteh, sambil menuju stasiun kereta api Pagaden. Banyaknya kereta api yang singgah di stasiun menjadi lahan rezeki bagi mereka. Berdagang erteh merupakan batu loncatan untuk meniti karier selanjutnya di kereta api. Karier tersebut adalah berdagang asongan, seperti rokok, tisu, pecel, ketan bakar atau kopi hangat. Jika musim buah-buahan, mereka pun menjajakan buah mangga, rambutan, dukuh, dan sebagainya.

Dengan berdagang sejak belia, kawan-kawanku pun mengerti arti dan nilai uang sejak belia. Kehidupan di stasiun yang menawarkan sejumlah materi pun ternyata membuat semangat belajar menurun. Kawan-kawan sebayaku lebih tertarik dengan uang recehan dibanding membicarakan matematika atau latihan Pramuka. Hal itu yang membuat tingkat pendidikan mereka tak lebih dari SD, karena lebih memilih menjadi pedagang asongan di kereta. Semakin jauh mengasong dari stasiun Pagaden, seperti ke Jakarta atau Cirebon, maka ia akan semakin disegani rekan-rekannya.



Sayangnya, kehidupan di sekitar stasiun dikenal ketat, keras, dan terkadang liar. Wajah seram dan garang preman, juga pedagang asongan, bercampur dengan pengamen dan pengemis. Sungguh pemandangan yang membuat hati berdebar-debar. Sambil menunggu kereta api, kegiatan yang mereka lakukan adalah main kartu. Bahkan seringkali hingga mengabaikan waktu dan dibumbui taruhan. Jahatnya, hasil usaha seharian untuk anak istri bisa ludes digunakan berjudi. Pemandangan lain kerap dijumpai, hampir setiap sore sejumlah pemuda hanyut dalam pesta minuman keras. Kekerasan, perkelahian, dan tawuran pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas tersebut.

Kerasnya kehidupan sebagai pedagang asongan ini dialami Pak Handi semasa muda. Dan insiden jatuh dari kereta api yang membuatnya terluka, mendorongnya untuk menjadi tukang cukur seperti profesi ayahnya. Tapi pengalaman dan kehidupan di stasiun yang keras, membuatnya berpikir ulang untuk mengizinkan anak-anaknya mengais rezeki di antara desakan penumpang dan penatnya gerbong kereta api. Meski hanya lulusan sekolah rakyat (SR) tanpa memiliki properti selain rumah bilik yang dihuninya, namun Pak Handi mampu berpikir jauh ke depan. Ia bertekad menyekolahkan anak-anaknya semaksimal mungkin. Salah satu tujuannya, mengubah nasib keluarga. Optimisme itu ditunjukkan dengan antusiasmenya saat menemani sang anak di hari pertama sekolahnya. Pesannya pada sang anak, "Dengan pendidikan, nasib seseorang dan keluarganya bakal berubah, termasuk bangsanya". Itulah petuah yang berhasil membakar semangat belajar anak-anaknya. Sebuah cita-cita yang dinilai nyeleneh di kampungnya saat itu. Tempat di mana hampir semua remaja di sana mulai meniti kariernya berdagang di kereta api dan menikah di usia muda. Tapi Pak Handi dan sang istri mendoakan yang sebaliknya untuk para buah hatinya. "Jangan jadikan anak-anak kami berdagang asongan di kereta api..." batinnya. (bersambung ke bagian 2)**


Galamedia, Jumat, 07 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (2)

Melewati Pilihan Dilematis

SEJAK tahun 1968, anak pertama Pak Handi masuk madrasah ibdtidaiah di kampungnya. Disusul anak keduanya di sekolah yang sama. Sekolah setingkat sekolah dasar itulah yang ada di kampungnya saat itu. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.



BEGITU pun yang ketiga dan keempat, mereka menuntut ilmu di sana hingga semuanya melanjutkan ke madrasah tsanawiyah. Ada satu hal yang janggal dengan keluarga Pak Handi dibandingkan umumnya masyarakat saat itu. Anak-anak Pak Handi tidak terbawa hanyut bersama kawan-kawannya menjajakan erteh di stasiun. Meskipun diiming-imingi gemerincing uang, hal itu tidak memancing hati untuk turut berdagang. Mereka tidak pula terbawa kebiasaan menikah di usia belia. Aktivitas sekolah dan kegiatan ekskul mampu mengalihkan perhatian untuk memiliki pacar.

Dalam menyiasati hidup, Bu Handi sesekali menerima jahitan dari tetangganya tanpa tarif alias seikhlasnya. Lumayan untuk membantu menambah biaya hidup sehari-hari. Kalau ada lebihnya, disiapkan untuk biaya SPP anak-anaknya.

Untuk menyiasati risiko sehari-hari, Bu Handi membuat sayur dengan kuah yang diperbanyak. Kedua, menu yang dipilih bukan kesukaan salah satu anaknya, melainkan kesukaan semuanya. Tak jarang cukup ditambah dengan cengek diulek dengan garam, makanan pun bercitarasa. Dalam hal keperluan sandang, baju dijahit sendiri. Yang penting cocok dipakai dalam segala suasana, pagi, sore ataupun malam. Ini salah satu cara menghemat keperluan sandang.

Dalam menyekolahkan anak-anaknya penuh romantika, penuh suka dan duka. Terlambat membayar iuran atau SPP kerap dialami anak-anaknya. Tak heran ada beberapa anaknya yang harus berjemur dulu menunggu sekitar 15 menit saat akan ikut ulangan sebagai sanksi terlambat membayar uang bangunan atau SPP. Keterbatasan itu juga membuatnya berhadapan dengan pilihan yang dilematis. (bersambung ke bagian 3)**

Galamedia, Sabtu, 08 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (3)

Sekolahlah Sampai Mentok

"KAU boleh sekolah sampai mentok!" Begitu kata Pak Handi saat dimintai pendapatnya ketika anak pertamanya akan ikut Sipenmaru pada 1981. Sebelumnya Pak Handi menginginkan anaknya segera menikmati buah usahanya yakni menjadi guru SD. Bagaimana kisah selengkapnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya.


TEKAD keras anaknya untuk mencoba Sipenmaru meluluhkan hati Pak Handi. Namun sekolah sampai mentok yang dimaksud Pak Handi jelas bukan program doktoral (S3) sebagai jenjang pendidikan tertinggi, tapi mentok dalam arti biaya. Ketakutan akan biaya kuliah, mungkin ungkapan polos dan spontan yang meluncur dari bibir Pak Handi. Ibarat baterai kalau energinya habis, ya sudah tamat alias sampai di sana kisah kuliah anaknya, meski gagal sebelum menyentuh finis.


Cita-cita Didi, anak Pak Handi yang saat itu ingin kuliah adalah sebuah cita-cita tak lazim. Hampir seluruh kawannya mengabdi menjadi guru SD selulus SPG. Menjadi guru SD di kampung dengan istri yang juga seorang guru cukup membahagiakan. Punya gaji dengan rumah yang ada kolam ikannya, kebun bunga dan sayuran serta binatang peliharaan, hidup tenteram. Tapi rasa penasaran mencoba potensi diri ikut Sipenmaru lebih kuat. Ditambah ia pun memiliki beasiswa Pikiran Rakyat semasa di SPG. Didi memang peraih juara ketiga siswa teladan tingkat SLTA se-Jabar tahun 1980 dan berhak mendapatkan beasiswa Pikiran Rakyat selama satu tahun.

Tapi untuk itu ia harus menghadapi tantangan, hambatan, dan sikap skeptis warga di lingkungannya. Keinginan Didi untuk kuliah hanya menjadi bahan olok-olok tetangganya. "Emangnya punya duit berapa si Handi? Untuk makan anak-anaknya saja sulit!", "Kalau mau kuliah harus punya modal 3D (duit, dulur, dekat)!", "Apa mampu anak miskin hidup di kota besar", dll. Menyakitkan. Beruntung Didi cukup tegar. Ia mampu menepis semua itu dengan aktivitas di kampusnya dan berprestasi.

Menurut Didi, saat kos di daerah Negla, ibunya selalu memberinya bekal tempe kering yang dimasak bersama kacang dan teri sebagai menu untuk satu bulan. Jarang sekali ia membeli nasi bungkus atau makanan instan seperti mi. Ia biasa menanak atau membuat nasi liwet. Berasnya dibawa dari kampung, satu karung terigu penuh.

Rupanya Allah SWT memberi jalan. Didi terpilih menjadi Ketua Hima. Saat itu Hima Bahasa Inggris mengadakan kegiatan semacam bazar dan ternyata rugi hampir Rp 2 juta. Tapi kerugian ini ternyata membuka potensi luar biasa dirinya. Karena untuk membayar kerugian itu, seluruh mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek menerjemahkan modul-modul bahasa Inggris oleh dosennya. Dan tak lebih dari 5 orang yang pekerjaannya terpakai, termasuk Didi. Tentu saja ini dapat menambah uang sakunya.

Selepas D3 harusnya seluruh mahasiswa ikatan dinas diwajibkan mengajar di SMP di berbagai pelosok daerah, jika ingin melanjutkan ke S1. Tetapi tidak bagi Didi. Ia memperoleh nilai tertinggi di kelasnya dan masuk kategori boleh melanjutkan tanpa harus mengajar dulu di SMP. Tahun 1986, ia lulus S1 dan langsung mengabdikan diri di almamaternya, IKIP Bandung. Ucapan Pak Handi boleh sekolah hingga mentok benar-benar menjadi kenyataan, dengan diraihnya gelar doktor (S3) pada tahun 2006 di Gedung Partere Isola UPI dan tak lama, gelar profesor pun diraih dalam usia relatif muda 46 tahun. (bersambung ke bagian 4)**


Galamedia, Minggu, 09 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (4)

Memilih Perguruan Tinggi Berstatus Negeri

MEMILIH perguruan tinggi negeri (PTN), itulah salah satu hal yang dilakukan Pak Handi dalam menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Dengan memilih PTN, biayanya lebih murah karena disubsidi pemerintah. Selain itu, mudah mendapat beasiswa dan berbagai fasilitas tersedia, seperti dosen, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain dijamin lengkap. Seakan menjadi aturan tidak tertulis, anak-anaknya harus kuliah di perguruan tinggi negeri. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Dadan Wahyudin mengisahkannya berikut ini.


UNTUK masuk PTN harus melalui ujian saringan masuk yang dipersiapkan melalui belajar yang sungguh-sungguh. Tanpa belajar yang baik dan tekun, kecil kemungkinan bisa berhasil. Apalagi persaingannya sangat ketat. Satu hal yang harus dicatat, anak-anak Pak Handi diterima di PTN tanpa satu pun yang mengikuti les privat atau bimbingan belajar.

Resepnya antara lain mempelajari soal-soal bekas ujian masuk PTN, baik dengan memfoto kopi, meminjam atau membeli buku pembahasan soal-soal untuk latihan. Lalu, memahami bentuk dan karakter soal, karena soal-soal selalu berulang dari tahun ke tahun. Caranya kerjakanlah soal sampai muncul jawabannya. Hal itu tentu saja harus dibarengi dengan belajar giat dan berdoa.

Di bangku kuliah, selain mencari ilmu pengetahuan, juga aktif di beberapa unit kegiatan. Ini sangat membantu memperoleh wawasan, pengalaman, atau relasi pergaulan yang luas. Di samping itu dapat dijadikan media mengasah dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Cara ini berkaitan erat dengan kompetisi dalam memperoleh pekerjaan setelah lulus nanti. Manfaatkanlah kampus untuk melatih dan mengembangkan talenta kita.

Untuk urusan biaya kuliah, anak-anak Pak Handi kreatif mencari pembiayaan sendiri karena kiriman orangtua tak bisa diandalkan sepenuhnya. Tak heran anak-anaknya menyambi jadi tenaga honorer di sekolah, berjualan kerudung, buku, atau memberi les privat door to door. Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, mereka tidak sungkan meminta bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa. Di PTN, beasiswa cukup banyak, terutama bagi yang memerlukan. Sayang kalau niat baik pemerintah dan perusahaan swasta ini dilewatkan begitu saja. Dengan mengurus proses pengajuan beasiswa dan telah memenuhi sejumlah persyaratan, akhirnya beasiswa seperti TID (Tunjangan Ikatan Dinas), Supersemar, PPA (Peningkatan Prestasi Akademik), PT Tifico, HU Pikiran Rakyat didapat. Beberapa mahasiswa sering enggan mengurus persyaratan administratif perihal keterangan penghasilan atau domisili orangtua. Padahal, beasiswa sangat membantu dalam menempuh studi selanjutnya.

Menikmati dan menghadiri acara wisuda tentu sangat membahagiakan bagi Pak Handi dan Bu Handi. Hampir seluruh PTN di Bandung, seperti IKIP, Unpad, ITB, dan IAIN SGD mengundangnya sebagai tamu civitas akademika saat wisuda anak-anaknya. Termasuk di STAN/Prodipkeu Jakarta tahun 1996. Undangan wisuda pun makin istimewa saat Didi dan Siti dikukuhkan sebagai doktor (S3) pada tahun 2006 dan 2007 oleh Rektor UPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata. Tradisi wisuda dilanjutkan cucu Pak Handi dan Bu Handi. Sungguh momentum yang indah dan membahagiakan. (bersambung)**

Galamedia, Senin, 10 Agustus 2009
Mengubah Nasib dengan Pendidikan (5)

Tukang Cukur Tradisional itu Jadi Tamu Allah
BISA berziarah ke Tanah Suci adalah impian umat muslim. Di kampungku, orang yang berangkat haji biasanya juragan beras atau pemilik toko material alias orang kaya. Bagi orang-orang kurang mampu atau pas-pasan, bermimpi pun rasanya tidak pede. Tapi tidak bagi Pak Handi, ia selalu berdoa di keheningan malam untuk bisa diberi kesempatan menunaikan Rukun Islam yang kelima itu. Bagaimana kelanjutan kisah Pak Handi? Dadan Wahyudin mengisahkannya.

SEORANG tukang cukur tradisional dengan beban 8 anak yang harus diberi makan, disekolahkan, dan diberi baju, bermimpi ke Tanah Suci, di mata tetangganya sesuatu hal yang mustahil, baik secara logika maupun matematis. Bahkan mereka menyindirnya sebagai pungguk merindukan bulan.

Tetapi tidak bagi Allah SWT. Apa pun yang dikehendaki-Nya, kun fayakun, jadi maka jadilah. Setelah tiga keluarga anaknya lebih dulu menunaikan ibadah haji, di awal tahun 2005 bersama keluarga anaknya yang keenam, Pak Handi menyusul memenuhi panggilan sebagai tamu Allah SWT. Tentu ini karunia yang luar biasa. Rahmat dan kenikmatan diberikan Allah SWT pada hamba yang dikehendaki-Nya.

Untuk urusan ONH, Pak Handi tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Untuk memberangkatkan Pak Handi dan istrinya, anak-anaknya berinisiatif menyodorkan sirkulir secara sukarela dan terkumpul dana yang cukup untuk ONH berdua. Dengan cara ini, besar atau kecil, semuanya bisa berpartisipasi. Di Tanah Suci pun, Pak Handi merasa nyaman, karena ditemani keluarga Ade M., anaknya. Sepulang dari Tanah Suci, Pak Handi mendapat nama haji, Haji Abdurahman dan istrinya, Hajjah Uswatun Hasanah. Kemudian disusul keluarga anaknya yang ketujuh di tahun 2006 dan insya Allah disusul yang lainnya.



Keluarga Pak H. Handi telah memberi warna dalam kehidupan. Niat tulus dan tekad yang dibarengi usaha serta doa telah mengubah kehidupan Pak Handi sekeluarga. Hal itu sesuai dengan rumus kehidupan bahwa kalau mau hidup sejahtera maka genggamlah pendidikan, karena dengan pendidikanlah orang menjadi cerdas dan beradab.

Hal ini memotivasi tetangga dan kerabat di kampungnya untuk berupaya menyekolahkan anak-anaknya. Tidak lagi sebatas imbauan pemerintah dalam wajardiknas sebatas lulus SD atau SMP, tapi lebih dari itu. Bila dulu anak-anak sejak remaja diarahkan untuk berdagang asongan di kereta api dan menikah di usia belia, kini mereka sudah terpacu oleh semangat dan keberhasilan Pak Handi. Di antara delapan saudara Pak Handi kini telah lahir 3 orang akademisi atau sarjana.

Pesan di atas pun dapat ditimba pembaca, keterbatasan dan kekurangan ternyata tidak membuat kita harus patah semangat dan menyesali kehidupan. Tapi dengan optimisme dan usaha sungguh-sungguh disertai doa, niscaya Allah SWT akan memberi jalan terbaik. Anak-anak Pak H. Handi kini telah bekerja di berbagai instansi dan profesi. Mereka adalah Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed.; Dr. Hj. Siti Maryam, M.Pd.; Pupu Marfuah; Dra. Hj. Yani Maryani; Dadan Wahyudin, S.Pt ; H. Ade Muhtar, M.M.; Hj. Tati, S.T.; dan Lina M., S.P. Di usianya yang mencapai 64 tahun, Pak H. Handi memilih pensiun dari profesinya sebagai tukang cukur. Kegiatan mencukur kini hanya dilakukannya pada anak dan cucu-cucunya. Waktunya lebih banyak dicurahkan untuk menemani cucu-cucunya yang mencapai 38 orang. Kini ia tinggal di Hegarmanah Melongasih Cimahi. (tamat)**

Penulis, Dadan Wahyudin